Periskop.id - Catcalling, atau pelecehan seksual verbal di ruang publik, sering kali dianggap hal sepele. Padahal, ini bisa membuat korban merasa tidak aman dan tertekan.

Menurut laporan Komnas Perempuan, pelecehan di ruang publik masih menjadi salah satu kasus yang paling sering terjadi di Indonesia, dan sebagian besar korbannya adalah perempuan.

Dalam kondisi ini, laki-laki memiliki peran yang tidak kalah penting. Tidak cukup hanya berkata “saya bukan pelaku,”  tetapi juga perlu menjadi pelindung, bukan sekadar penonton.

Memahami Masalah dan Tanggung Jawab 

Dilansir dari UN Women,  catcalling bukan sekadar bercanda atau pujian, melainkan pelecehan verbal yang menunjukkan ketidakhormatan terhadap orang lain. Contohnya meliputi siulan, godaan bernada seksual, atau komentar tentang tubuh seseorang di jalan.

Sering kali pelaku berdalih bahwa tindakannya tidak bertujuan melukai. Namun, niat bukanlah alasan yang dapat membenarkan tindakan pelecehan. Dampaknya bagi korban jauh lebih besar daripada yang terlihat di permukaan.

Bagi banyak korban, catcalling menimbulkan rasa takut, cemas, hingga trauma. Tidak sedikit yang akhirnya menghindari lokasi tertentu, bahkan mengubah cara berpakaian demi merasa lebih aman. Pelecehan di ruang publik telah membuat banyak perempuan kehilangan rasa bebas untuk bergerak di ruang umum.

Dalam situasi catcalling, laki-laki dapat berada di tiga posisi:

  1. Pelaku, yaitu orang yang melakukan catcalling.
  2. Pewajar, yaitu orang yang menertawakan atau membiarkan tindakan itu.
  3. Saksi pasif, yaitu orang yang melihat, tetapi memilih diam.

Penelitian dari Hollaback! dan Cornell University pada 2016 menunjukkan bahwa ketika seseorang diam melihat pelecehan, pelaku merasa tindakannya diterima. Artinya, ketidakpedulian justru memperkuat budaya pelecehan.

Oleh karena itu, langkah kecil seperti bersuara atau bertindak bisa menjadi awal dari perubahan besar.

Langkah Nyata Saat Melihat Pelecehan

Semua orang bisa membantu menghentikan pelecehan di sekitar mereka. Tidak perlu menjadi pahlawan yang penting berani mengambil langkah aman untuk membantu korban dan menghentikan situasi.

Inilah yang disebut aksi nyata saat melihat pelecehan.

Berdasarkan panduan dari Hollaback! dan Cornell University, berikut empat cara efektif yang dapat dilakukan:

1. Langsung Menegur (Direct)

Jika situasi terasa aman, tegurlah pelaku dengan nada tegas namun tetap tenang.

Tujuannya bukan untuk berdebat, tetapi memberi sinyal bahwa perilaku tersebut tidak dapat diterima.

2. Alihkan Perhatian (Distraction)

Jika tidak nyaman menegur langsung, cobalah mengalihkan situasi.
Misalnya, pura-pura bertanya arah, menjatuhkan barang, atau mengajak korban berbicara.
Tindakan sederhana ini dapat memecah fokus pelaku tanpa menimbulkan konfrontasi.

3. Minta Bantuan (Delegate)

Jika kamu tidak merasa aman, mintalah bantuan dari orang lain seperti satpam,

4. Rekam Kejadian (Document)

Bila memungkinkan, rekam kejadian sebagai bukti. Namun, jangan pernah mengunggah rekaman ke media sosial tanpa izin korban.
Beri hasil rekaman hanya jika korban ingin menggunakannya sebagai bukti laporan.

Membangun Lingkungan yang Menghargai

Setelah memahami cara bertindak, langkah berikutnya adalah membangun lingkungan yang menghormati.

Di kalangan laki-laki, catcalling sering dianggap guyonan. Padahal, tidak ada alasan untuk menertawakan rasa takut orang lain.

Menurut Komnas Perempuan, kebiasaan menormalisasi pelecehan adalah akar dari berulangnya kasus serupa. Karena itu, solidaritas sejati antar laki-laki bukan berarti membenarkan perilaku teman, melainkan berani menegur dengan cara yang bijak.

Saat seseorang bercerita pernah dilecehkan, tugas utama kita bukan menghakimi, melainkan mendengarkan dan percaya.
Hindari pertanyaan seperti “Kamu pakai baju apa waktu itu?”
Gantilah dengan kalimat yang memberi dukungan, misalnya:

  • “Aku percaya kamu.”
  • “Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu.”

Menurut UN Women, bentuk dukungan sederhana seperti ini dapat membantu korban merasa lebih kuat dan tidak sendirian.

Selain memberikan dukungan langsung, kita juga bisa terlibat dalam kampanye atau peraturan antipelecehan di kampus, tempat kerja, maupun komunitas.
Kampanye edukatif terbukti mampu mengurangi angka pelecehan di ruang publik dan menumbuhkan budaya saling menghargai.

Gunakan pula media sosial untuk menyebarkan pesan positif bahwa menghormati orang lain adalah tanda kedewasaan, bukan kelemahan.

Ruang publik yang aman adalah hak semua orang. Tapi keamanan itu tidak akan terwujud kalau masih banyak yang diam dan membiarkan pelecehan terjadi.

Laki-laki punya peran besar dalam perubahan ini, bukan hanya dengan tidak menjadi pelaku, tapi juga dengan berani bertindak dan mendukung korban.

Mulai hari ini, jadilah pelindung, bukan penonton.