periskop.id - Pernahkah kamu mendengar orang berkomentar, “Masa, sih, selingkuhannya nggak lebih cantik dari pasangannya?”
Komentar seperti itu sering muncul di tongkrongan, di media sosial, sampai gosip kantor. Namun, kalau kita lihat lebih dalam, perselingkuhan ternyata bukan urusan lebih cantik atau lebih ganteng, melainkan urusan rasa yang tak terpenuhi.

Sebelum buru-buru menyalahkan siapa pun, mari lihat dulu dari sisi psikologi. Kenapa seseorang bisa jatuh cinta lagi, bahkan dengan orang yang mungkin secara fisik “lebih biasa”?

Dari Fisik ke Emosi: Ketika Daya Tarik Bukan Lagi Soal Wajah

Manusia pada dasarnya tak hanya mencari pasangan yang menarik secara visual. Kita juga butuh rasa aman, dihargai, dan dipahami. Dalam penelitian Rokach dan Chan tahun 2023 berjudul “Love and Infidelity: Causes and Consequences”, ditemukan bahwa kesepian, kurangnya komunikasi, dan kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi menjadi penyebab utama perselingkuhan, bukan karena godaan seseorang yang lebih menarik secara fisik. 

Selingkuh sering kali bukan karena seseorang menemukan yang lebih baik, tetapi karena menemukan yang lebih mendengarkan.

Penelitian ini menunjukkan bahwa keintiman emosional bisa mengalahkan faktor visual. Kadang perhatian kecil, sapaan hangat, atau obrolan yang sefrekuensi bisa terasa jauh lebih berharga dibanding wajah yang rupawan, tetapi terasa dingin.

Ketika Otak Menganggap yang Baru “Lebih Menarik”

Nah, di sinilah psikologi bermain. Menurut penelitian Starratt et al. (2017) dari Personality and Individual Differences, keputusan seseorang untuk selingkuh bisa dipengaruhi oleh konsep mate value, yaitu cara seseorang menilai daya tarik diri dan orang lain. 

Menariknya, konsep bukan hanya soal fisik. Terkadang, seseorang dianggap menarik karena memberikan perasaan baru, perhatian, pengakuan, atau sekadar sensasi petualangan. Itu sebabnya, otak kita bisa tertipu oleh rasa penasaran dan hormon dopamin yang membuat hubungan baru terasa lebih menggairahkan meski seseorang tak lebih menarik secara penampilan.

Kalau begitu, apa yang membuat orang bisa sedekat itu sampai akhirnya terlibat hubungan terlarang?

Dekat karena Kesempatan, Bukan karena Penampilan

Penelitian Nowak et al. (2014) dari Human Ethology Bulletin menemukan bahwa kesempatan dan kedekatan emosional menjadi faktor besar dalam kasus perselingkuhan. 

Kata kuncinya di sini adalah proximity effect yang menggambarkan situasi semakin sering seseorang berinteraksi, semakin besar kemungkinan munculnya perasaan. Itu bisa terjadi di tempat kerja, di komunitas, bahkan di media sosial.

Bayangkan, seseorang yang setiap hari curhat, kerja bersama, atau saling bantu saat stres, pelan-pelan batas emosional mulai kabur. Saat kebutuhan emosional terpenuhi, daya tarik fisik bukan lagi prioritas. Terkadang yang dicari bukan wajah baru, tetapi rasa nyaman yang hilang di rumah.

Antara Pelarian dan Pencarian: Apa yang Sebenarnya Dicari?

Selingkuh sering kali bukan karena seseorang ingin meninggalkan pasangannya, tetapi karena mereka mencari versi diri yang dulu sempat hilang. 

Menurut banyak psikolog hubungan, termasuk hasil riset Rokach (2023), sebagian besar pelaku perselingkuhan merasa “lebih hidup” ketika bersama selingkuhan, bukan karena lebih cantik, tetapi karena mereka merasa lebih dihargai sebagai individu. 

Jadi, pada akhirnya, perselingkuhan bukan hanya cermin hubungan yang rusak, tetapi juga cermin kebutuhan manusia akan koneksi dan pengakuan diri.

Pelajaran dari Sisi Psikologi: Jangan Salah Fokus

Kalau mau jujur, perselingkuhan tak akan pernah bisa dibenarkan. Namun, memahami alasannya bisa memberikan kita lebih banyak perspektif tentang perilaku sosial. 

Fisik memang menarik, tetapi yang membuat seseorang bertahan adalah keintiman emosional dan komunikasi yang jujur. 

Jadi, jangan heran kalau selingkuhan tak selalu lebih cantik atau ganteng. Dalam dunia psikologi hubungan, hal yang dicari bukan sekadar wajah, tetapi rasa diperhatikan, dihargai, dan dimengerti.