periskop.id - Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China kembali menjadi sorotan global. Isu logam tanah jarang (rare earth) serta agenda strategis lain memicu gejolak pasar yang berimbas pada banyak negara, termasuk Indonesia.
Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, menegaskan bahwa Indonesia tidak cukup hanya bertahan menghadapi situasi ini. Menurutnya, desain ekonomi domestik harus diperkuat agar mampu tumbuh di tengah ketidakpastian global.
“Dunia sedang bergerak menuju periode yang lebih bising dan tidak pasti. Indonesia harus memperkuat pipa likuiditas untuk perekonomian dalam negeri, bukan sekadar tembok perlindungan. Desain kebijakan fiskal dan moneter kita harus menciptakan sistem yang hidup, bukan sekadar bertahan,” ujarnya dilansir dari Antara, Senin (13/10).
Fakhrul menyambut langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menggerakkan kembali dana pemerintah melalui perbankan. Ia menilai kebijakan ini bisa menjadi titik awal strategis untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional.
“Kita tidak kekurangan uang, tapi kita sering kekurangan mekanisme penyaluran yang berani dan tepat. Sektor keuangan sebagai channel harus pro-growth,” katanya.
Ia menekankan pentingnya memastikan likuiditas pemerintah benar-benar mengalir ke sektor produktif, bukan berhenti di neraca perbankan.
Koordinasi erat antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia juga dianggap krusial. Hal ini terutama di tengah tekanan global seperti ancaman tarif 100% dari AS maupun pembatasan ekspor rare earth dari China.
“Satu-satunya cara menjaga momentum ekonomi adalah memastikan uang bekerja di tempat yang produktif di dalam negeri,” tegas Fakhrul.
Ia menambahkan, “Ketahanan ekonomi modern tidak datang dari aliran modal global yang tak pasti, tapi dari arsitektur likuiditas domestik yang mengalir ke bawah.”
Namun, ia mengingatkan bahwa kebijakan penempatan dana pemerintah hanya akan efektif jika diikuti reformasi pembiayaan jangka menengah yang lebih berani.
Menurut Fakhrul, ada tiga aspek utama yang harus segera diperkuat. Pertama, membangun sistem pembiayaan produktif berbasis risiko terukur, termasuk penguatan modal ventura dan pembiayaan inovatif. Kedua, menata ulang strategi pengelolaan sumber daya alam strategis seperti rare earth untuk kepentingan industri nasional. Ketiga, menjaga keberlanjutan fiskal dan kredibilitas moneter agar kepercayaan pasar tetap terjaga.
“Kita tidak bisa hanya bereaksi pada gejolak global. Kita perlu strategi yang membuat setiap krisis menjadi momentum penguatan,” ujarnya.
Ia menutup dengan pandangan bahwa Indonesia harus melampaui konsep “resilience” yang pasif menuju ekonomi “anti-fragile”.
“Dalam bahasa Nassim Taleb, ketahanan sejati bukan tentang bertahan, tetapi tentang bertumbuh melalui ketidakpastian. Dunia sedang berubah cepat; Indonesia harus menata desain ekonominya agar setiap guncangan menjadi sumber kekuatan baru,” pungkasnya.
Tinggalkan Komentar
Komentar