Periskop.id - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menilai implementasi Program Biodiesel B50 di tahun 2026, berpotensi mendorong kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO). Ketua Umum Gapki Eddy Martono meyakini, lonjakan permintaan domestik untuk bahan baku diesel akan mempengaruhi dinamika pasar dan ekspor.

“Dengan B50, produksi pasti akan naik, dengan asumsi semua berjalan normal dan kondusif. Tapi pasar juga akan sedikit khawatir karena peningkatan permintaan ini bisa mendorong harga CPO naik,” ujar Eddy dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (28/10). 

Eddy mengatakan, kenaikan harga CPO dapat memicu penurunan ekspor. Terutama jika negara pembeli beralih ke minyak nabati lain yang lebih kompetitif.

Kondisi ini sempat terjadi pada 2024, ketika ekspor CPO Indonesia turun menjadi US$17,34 miliar per Agustus, dibandingkan US$24,78 miliar pada periode yang sama tahun ini. Gapki memperkirakan, produksi sawit nasional tahun ini berada di kisaran 54 juta –55 juta ton, tidak melonjak drastis meski ada dorongan dari kebijakan B50.

Namun, Eddy optimistis, inovasi seperti introduksi serangga penyerbuk baru yang direncanakan mulai semester II dapat meningkatkan produktivitas secara signifikan dalam jangka menengah, terutama mulai 2027.

Terkait kebijakan domestic market obligation (DMO) untuk CPO, Eddy menyebut, masih ada ketidakjelasan arah kebijakan. Terutama terkait DMO yang akan tetap dikaitkan dengan ekspor seperti saat ini.

Untuk diketahui, DMO merupakan kewajiban bagi perusahaan, terutama di sektor sumber daya alam, untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri terlebih dahulu sebelum mengekspor produknya.

“Kalau dikaitkan dengan ekspor, apakah nanti akan dinaikkan kewajiban untuk DMO di dalam negeri. Kalau begitu pasti harga minyak sawit dalam negeri akan tertekan. Kalau CPO tertekan, harga TBS (tandan buah segar) juga pasti ikut turun,” kata Eddy.

Percepat Implementasi

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyampaikan, rencana penerapan skema DMO bagi perusahaan sawit, merupakan bagian dari strategi pemenuhan kebutuhan CPO untuk mendukung Program Biodiesel B50.

Program B50 sendiri merupakan kebijakan mandatori penggunaan bahan bakar solar dengan campuran 50% bahan nabati (fatty acid methyl ester/FAME), yang ditargetkan mulai berlaku pada 2026 sebagai bagian dari strategi pengurangan impor solar dan transisi energi nasional.

Bahlil menuturkan, program penggunaan bahan bakar solar dengan campuran 50% bahan nabati atau Biodiesel B50 mulai dijalankan pada semester II tahun 2026. Ia menjelaskan, Presiden Prabowo Subianto, dalam rapat terbatas, ingin mempercepat implementasi dari saat ini B40 menjadi B50. Saat ini, uji coba mandatori B50 masih dilakukan.

"B50 ini sekarang lagi diujicobakan. Insyaallah Di semester kedua akan kita implementasikan, dan kalau ini sudah kita lakukan maka impor BBM khususnya solar tidak lagi kita lakukan," kata Bahlil.

Bahlil menjelaskan, saat ini Indonesia masih harus impor solar sekitar 4,9-5 juta ton per tahun. Namun jika B50 diimplementasikan, ia meyakini impor bahan bakar khususnya solar dapat ditekan, karena produksi BBM sudah tercukupi dengan bioetanol.

Bahlil pun menepis kekhawatiran adanya kelangkaan minyak goreng akibat penerapan program Biodiesel 50 atau B50 yang akan menyedot stok minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). “Nggak ada, nggak ada isu itu (kelangkaan minyak goreng),” ujar Bahlil.

Asal tahu saja, minyak goreng dan biodiesel 50 sama-sama membutuhkan CPO sebagai bahan bakunya. Berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 1531 Tahun 2022 tentang Penetapan Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri (DMO) dan Harga Penjualan di Dalam Negeri (Domestic Price Obligation) Crude palm Oil (CPO) dan Minyak Goreng, kebutuhan CPO sebagai bahan baku dari minyak goreng mencapai sekitar 416 ribu ton per bulan atau sekitar 4,99 juta ton per tahun.

Di sisi lain, program mandatori B50 membutuhkan CPO hingga 5,3 juta ton per tahun. Untuk menjamin ketersediaan CPO, pemerintah pun memikirkan tiga alternatif, yakni intensifikasi lahan sawit untuk meningkatkan produksi di lahan yang sudah ada. Antara lain, pembukaan lahan baru, atau memangkas ekspor sawit dengan memberlakukan kebijakan DMO atau domestic market obligation.