Periskop.id - Pusat Penelitian (Puslit) Pranata Pembangunan Universitas Indonesia mencatat, program mandatori biodiesel B50 berpotensi menghemat devisa dalam jumlah besar dari berkurangnya impor solar. Namun pada saat yang sama, dapat menimbulkan tekanan terhadap neraca perdagangan.

Penghematan devisa akibat berkurangnya impor solar diperkirakan mencapai Rp172 triliun ketika campuran biodiesel ditingkatkan menjadi B50. Namun, penerapan B50 diperkirakan menekan ekspor CPO, dengan volume ekspor yang turun menjadi sekitar 20,8 juta ton dan potensi penurunan nilai ekspor mencapai Rp190,5 triliun karena sebagian pasokan dialihkan untuk kebutuhan biodiesel dalam negeri.

“Kita bisa menghemat Rp172 triliun, tapi ada risiko bahwa kita kehilangan Rp190 triliun. Secara agregat ada negatif. Negatif Rp18,15 triliun dari segi neraca perdagangannya,” kata Peneliti Puslit Pranata Pembangunan UI Surjadi di Jakarta, Jumat (17/10). 

Pungutan ekspor menjadi sumber utama pembiayaan selisih harga biodiesel dengan solar. Saat ekspor menurun, penerimaan dari pungutan tersebut otomatis ikut berkurang, padahal kebutuhan subsidi meningkat.

Berdasarkan perhitungan tim peneliti, untuk menutup tambahan subsidi sekitar Rp46,45 triliun, tarif pungutan ekspor perlu dinaikkan dari 10% menjadi 15,17%.

Surjadi bersama tim peneliti mengestimasikan, kenaikan tarif pungutan ekspor sebesar itu dapat menurunkan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani hingga Rp1.725 per kilogram.

Selain menekan ekspor, kondisi ini dinilai berpotensi menimbulkan tekanan pada harga minyak sawit mentah (CPO) domestik dan kesejahteraan petani sawit. Terutama petani swadaya yang memiliki lahan terbatas.

“Petani sawitlah yang akan terdampak, kesejahteraannya menurun apabila harga TBS ini tertekan akibat peningkatan pungutan ekspor, terutama petani sawit yang swadaya yang lahannya tidak luas itu yang akan paling terdampak,” kata Surjadi.

Simulasi yang dilakukan tim peneliti juga menunjukkan, agar ekspor tidak menurun ketika B50 diterapkan, Indonesia harus mampu meningkatkan produksi CPO hingga 54 juta ton. Angka ini jauh di atas proyeksi produksi tahun 2025 yang hanya sekitar 49,5 juta ton.

“Jadi ini semoga bisa menjadi pertimbangan apabila ingin menerapkan B50, tapi ekspornya tetap bertahan, jangan sampai ada kehilangan devisa kalau ekspornya turun,” serunya. 

“Dengan segala macam dampak tidak menyenangkannya yang terjadi apabila ekspor turun, maka kita harus upayakan agar dicapai tingkat produksi itu, 59,6 juta ton CPO dan CPKO atau 54 juta ton kalau CPO-nya saja,” imbuhnya.

Sebagai informasi, penelitian bertajuk “Produksi Sawit, Dinamika Pasar, serta Keseimbangan Biodiesel di Indonesia” ini menggunakan analisis kuantitatif dan metode ekonometrika dengan periode data 1990-2025.

Sumber data berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Kementerian ESDM, dan sumber lainnya. Peneliti juga melakukan wawancara mendalam kepada pemangku kepentingan.

Skema DMO

Sebelumnya, pemerintah menerapkan mandatori penggunaan bahan bakar solar dengan campuran 50% bahan nabati (fatty acid methyl ester/FAME) atau Biodiesel B50, untuk menghentikan impor solar mulai tahun 2026.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, saat menjadi pembicara utama dalam forum Investor Daily Summit 2025 di Jakarta, Kamis (9/10/2025), menegaskan pemerintah berkomitmen untuk mencapai kedaulatan energi nasional dengan menghentikan impor minyak solar mulai 2026.

"Atas arahan Bapak Presiden Prabowo, sudah diputuskan bahwa 2026, insya Allah akan kita dorong ke B50, dengan demikian tidak lagi kita melakukan impor solar ke Indonesia," tegas Bahlil.

Menurut Bahlil, keputusan ini merupakan langkah strategis sekaligus bentuk keberpihakan negara terhadap kemandirian energi. Program B50 akan menggantikan seluruh kebutuhan solar impor yang selama ini masih menekan devisa negara.

Bahlil bahkan berencana mewajibkan perusahaan sawit untuk memenuhi kebutuhan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO), dalam rangka penerapan biodiesel 50 (B50), menggunakan skema DMO.

“Kalau nambah CPO hukumnya cuma dua, bikin kebun baru atau sebagian ekspor kita, kita berlakukan DMO,” ucap Bahlil.

Asal tahu saja, Domestic Market Obligation (DMO) merupakan kewajiban bagi perusahaan, terutama di sektor sumber daya alam, untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri terlebih dahulu sebelum mengekspor produknya.

Dengan demikian, apabila pemerintah menerapkan skema DMO kepada perusahaan sawit guna memenuhi kebutuhan CPO untuk program B50, maka sebagian sawit yang diekspor akan dipangkas.

Meskipun demikian, penerapan skema DMO atau memangkas ekspor sawit untuk B50 adalah salah satu dari tiga opsi yang sedang dipertimbangkan oleh pemerintah. Dua opsi lainnya adalah intensifikasi lahan sawit dan pembukaan lahan baru.

“Kalau alternatif yang dipakai memangkas sebagian ekspor, maka salah satu opsinya adalah mengatur antara kebutuhan dalam negeri dan luar negeri,” kata Bahli