periskop.id - Di tengah Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi Rupiah, masyarakat mulai menyuarakan kekhawatiran terkait dampak kebijakan tersebut. Chief Economist The Indonesia Economic Intelligence (IEI) Sunarsip menilai, redenominasi berpotensi memicu inflasi pada tahap awal pelaksanaannya.

"Pada awal-awal mungkin akan ada. Pada awal-awal mungkin akan ada karena psikologis masyarakat akan terbawa itu. Tetapi pada akhirnya itu akan kembali normal," kata Sunarsip kepada media, dikutip Jumat (14/11).

Sunarsip menilai tekanan inflasi akibat redenominasi bersifat sementara dan hanya respons jangka pendek masyarakat. Fenomena ini wajar terjadi pada awal pelaksanaan karena setiap transisi kebijakan biasanya menimbulkan biaya tertentu.

Inflasi awal muncul karena masyarakat cenderung mempercepat pembelian barang sebelum kebijakan diterapkan. Dorongan belanja ini sementara mendorong kenaikan harga, namun tidak berlangsung lama.

"Psikologis orang gini, orang akhirnya belanja barang sekarang daripada nanti uang saya nggak laku, gitu loh. Karena kan sekarang harga 1 juta kan. Saya belanja sekarang deh, beli barang gitu kan. Nah itu yang kemudian akan mendorong inflasi tuh," terang Sunarsip.

Sebelumnya, Bank Indonesia mengusulkan RUU Redenominasi Rupiah sebagai bagian dari upaya memperkuat fondasi ekonomi nasional. Kebijakan ini diharapkan menjadi langkah awal untuk menyederhanakan nominal mata uang dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Rupiah.

Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menyampaikan bahwa pelaksanaan redenominasi akan dilakukan secara bertahap dan hati-hati. Proses ini melibatkan koordinasi erat antara Pemerintah, Bank Indonesia, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memastikan implementasi yang tepat.

Redenominasi Rupiah bertujuan menyederhanakan jumlah digit pada pecahan mata uang. Kebijakan ini tidak akan mengubah daya beli masyarakat maupun nilai tukar Rupiah terhadap barang dan jasa.