Periskop.id - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah memfinalisasi skema bea keluar (BK) emas hingga 15%. Skema tarif sendiri akan menurun sesuai tingkat hilirisasi dan bergantung pada pergerakan harga mineral acuan (HMA) emas.

Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu mengungkapkan, skema bea keluar itu akan tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang saat ini berada pada tahap akhir penyusunan.

“Saat ini PMK untuk penetapan bea keluar dari emas ini sudah dalam proses hampir pada titik akhir. Kami nanti akan laporkan segera ke Bapak-Ibu (anggota Komisi XI) dan ke publik,” kata Febrio dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, Senin (17/11). 

Dalam rancangan yang dipaparkan, tarif bea keluar disusun bertingkat menurut jenis produk dan pergerakan HMA emas. Ketika HMA emas berada pada rentang US$2.800 hingga di bawah US$3.200 per troy ounce, tarif yang dikenakan bergerak naik dari kelompok produk paling hilir hingga paling hulu.

Kemudian, Minted bars dikenai tarif 7,5%, diikuti ingot dan cast bar sebesar 10%. Sedangkan dore dan granul dikenai tarif 12,5% dalam rentang harga ini.

Sementara ketika HMA emas mencapai atau melampaui US$3.200 per troy ounce, tarif berada pada level tertinggi. Minted bars mulai dikenai 10%, kemudian ingot dan cast bar dikenai 12,5%, dan dore serta granul dikenai tarif tertinggi 15%, sebagai kelompok produk hulu yang paling besar pungutannya.

Kesepakatan Bersama

Besaran tarif tersebut merupakan kesepakatan bersama kementerian dan lembaga terkait. Juga selaras dengan usulan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai kementerian teknis.

Pemerintah menegaskan, skema ini dirancang untuk mendorong hilirisasi. Singkatnya, semakin hilir produk emas maka semakin rendah bea keluarnya. Dengan begitu, industri terdorong menciptakan nilai tambah lebih besar di dalam negeri.

Skema tersebut juga sekaligus memungkinkan negara memperoleh tambahan penerimaan, ketika harga emas global berada pada level tinggi.

“Ini sudah melalui tahap harmonisasi dan akan segera kita undangkan untuk kemudian kita pastikan nanti pada 2026 ini memberikan sumbangan bagi pendapatan negara,” kata Febrio.

Ia turut menyoroti posisi strategis Indonesia dalam industri emas global. Data USGS 2024 menunjukkan, Indonesia berada di peringkat keempat dunia untuk cadangan tambang emas, dengan cadangan bijih mencapai 3.491 ton pada 2023 menurut data Kementerian ESDM.

Dengan kekayaan tersebut, Febrio menegaskan, pengelolaan emas harus selaras dengan amanat Pasal 33 UUD 1945, agar manfaatnya optimal bagi masyarakat.

Ia pun menekankan, penguatan rantai pasok nasional harus didorong melalui hilirisasi. Dengan begitu, tambang emas tidak hanya memberi penerimaan negara tetapi juga menciptakan nilai tambah melalui pengolahan di dalam negeri.

Selain itu, lanjutnya, pemerintah juga terus mencermati berkembangnya ekosistem bullion bank dan menilai peningkatan likuiditas emas di dalam negeri penting. Hal ini agar manfaat ekonomi dapat dinikmati lebih luas.

Geopolitik Global
Untuk diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut kondisi geopolitik dan geoekonomi global menjadi faktor utama yang mendorong kenaikan harga emas.

Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, harga emas di pasar internasional terus mengalami kenaikan. Berdasarkan data PT Antam, total penjualan emas pada Januari-September 2025 mencapai 34.164 kilogram atau setara 1.098.398 troy oz.

"Hal ini karena emas dianggap sebagai safe haven, sehingga kondisi geopolitik dan geoekonomi global ini sangat menjadi faktor utama yang mendorong kenaikan harga emas. Karena investor mengalihkan aset ke emas sebagai safe haven," ujar Amalia dalam Rapat Koordinasi Inflasi Daerah 2025 dipantau secara daring di Jakarta, Senin (17/11).

Amalia menjelaskan, volume penjualan emas meningkat 20% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu yang tercatat sebanyak 918.450 troy oz.

Dari sisi inflasi, rata-rata nasional emas perhiasan menyumbang inflasi sebesar 52,76% pada Oktober 2025. Provinsi yang mengalami inflasi emas paling tinggi adalah di Sumatera Barat di mana inflasi emasnya mencapai 62,83%, lalu diikuti oleh Sulawesi Selatan yang mengalami inflasi emas 62,77%.

Namun demikian, Amalia mengatakan, masyarakat Indonesia sudah memiliki kesadaran untuk berinvestasi emas, sehingga komoditas tersebut menjadi salah satu yang berkontribusi terhadap inflasi.

"Dengan kata lain, masyarakat Indonesia sudah mulai melihat, emas adalah sebagai salah satu komoditas untuk berinvestasi," ujarnya.