periskop.id - Sekretaris Jenderal BPP Hipmi, Anggawira, menilai kebijakan impor bahan bakar minyak (BBM) dengan skema antarbisnis (B2B) merupakan langkah darurat yang tepat untuk mengatasi kelangkaan pasokan di SPBU swasta. Namun, ia menegaskan bahwa kebijakan ini hanya bersifat sementara.

“Saya berpandangan bahwa kebijakan skema B2B impor BBM harus dilihat sebagai jembatan sementara, bukan solusi permanen,” kata Angga dalam keterangan yang dilansri dari Antara, Jumat (26/9).

Ia menjelaskan, konsumsi BBM nasional pada 2024 mencapai 1,3 juta barel per hari, dengan bensin menyumbang 870 ribu barel. Sementara itu, produksi domestik hanya mampu menutup 30%–35% kebutuhan, sehingga ketergantungan pada impor masih sangat tinggi. 

“Tanpa langkah darurat, stok jelas akan kritis,” ujarnya.

Menurut Angga, mekanisme yang dijalankan melalui PT Pertamina Patra Niaga di bawah arahan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sudah tepat. Pertamina bahkan telah dua kali bertemu dengan badan usaha swasta untuk menyepakati mekanisme harga terbuka (open book) serta pengawasan kualitas melalui surveyor independen.

Pertamina juga membuka ruang pertemuan individual dengan badan usaha untuk menyesuaikan kuota tambahan sesuai kebutuhan masing-masing. 

“Dengan demikian, konsumen tetap punya pilihan merek BBM dan fairness pasar tetap dijaga,” jelas Angga.

Ia kemudian mengusulkan lima langkah agar skema B2B tetap adil, yakni alokasi kuota berbasis data historis dan kapasitas SPBU, audit independen oleh BPH Migas, penggunaan multivendor impor sesuai standar Ditjen Migas, diversifikasi energi melalui biofuel dan infrastruktur kendaraan listrik, serta digitalisasi distribusi agar mutu dan volume BBM bisa dipantau secara real-time.

Meski demikian, Angga menekankan bahwa solusi permanen tetap harus diwujudkan melalui pembangunan kilang baru. 

“Tanpa kilang baru, impor bensin akan bertahan di kisaran 350–450 ribu barel per hari hingga 2030,” katanya.

Ia menambahkan, proyek RDMP Kilang Balikpapan yang ditargetkan beroperasi penuh akhir 2025 dapat menekan impor hingga 20%.

Selain pembangunan kilang, substitusi energi juga menjadi kunci. Program biofuel E20–30 dan B35–40 diperkirakan mampu mengurangi impor 5–7 juta kiloliter per tahun, sementara elektrifikasi transportasi dapat menekan konsumsi bensin hingga 15 ribu barel per hari.

“Pemerintah tentunya menjamin stok BBM tetap aman dan masyarakat terlindungi, sambil memberi waktu untuk memperkuat produksi domestik, mempercepat pembangunan kilang, dan memperluas substitusi energi,” pungkas Angga.