periskop.id - Kuasa Hukum Bonatua Silalahi, Abdul Gafur, mengungkapkan bahwa sidang keempat kasus dugaan tindak pidana kearsipan ijazah Presiden Joko Widodo telah memunculkan dua fakta persidangan baru. Ia menegaskan bahwa temuan ini membuat keberadaan ijazah tersebut hingga kini masih tetap misterius.

“Kami tegaskan terhadap persidangan hari ini, ijazah Pak Joko Widodo masih misterius,” kata Gafur, usai menjalani sidang di Jakarta, Selasa (11/11).

Gafur menguraikan, fakta pertama didapat dari pemeriksaan saksi fakta. Berdasarkan keterangan saksi, terungkap bahwa KPU memang belum menyerahkan dokumen ijazah Jokowi kepada Lembaga Kearsipan Nasional (ANRI).

“Dari keterangan saksi fakta tadi, ijazah Pak Joko Widodo itu memang belum diserahkan oleh KPU yang kewajibannya diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan,” jelas Gafur.

Fakta kedua, lanjut Gafur, berasal dari keterangan saksi ahli. Ahli tersebut menegaskan bahwa KPU memiliki kewajiban hukum untuk melakukan otentikasi (pembuktian keaslian) terhadap ijazah, bukan sekadar verifikasi dokumen.

“Ahli tadi menjelaskan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 memang ada kewajiban dari pencipta arsip, yaitu KPU,” ujar Gafur.

Gafur menyoroti bahwa KPU diduga tidak pernah melakukan proses otentikasi tersebut sesuai kewajibannya, padahal dokumen itu wajib dijadikan arsip nasional.

“Ternyata otentikasi itu juga tidak pernah dilakukan, berdasarkan keterangan tadi... Nyatanya, berdasarkan fakta-fakta persidangan hari ini, itu belum dilakukan sama sekali,” tegas Gafur.

Pelapor Duga Ada Desain Menghindari Aturan

Gafur menduga ada desain aturan yang sengaja dibuat KPU untuk menghindari kewajiban penyerahan arsip tersebut.

Ia merujuk pada Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2013 yang dinilai tidak memiliki kepastian hukum dan menciptakan ketidakjelasan.

“Sehingga dari awal kami melihat ini ada desain yang sudah dilakukan oleh penyelenggara pemilu untuk menghindari kewajiban menyerahkan ijazah Pak Joko Widodo,” ucap Gafur.

Kuasa hukum Bonatua lainnya, Abdullah Alkatiri, menambahkan bahwa KPU berpotensi terlibat pidana dengan ancaman 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta jika terbukti melanggar UU Kearsipan.

Pihak pelapor juga menyayangkan saksi yang dihadirkan KPU dalam sidang, yang dinilai tidak kompeten karena hanya seorang kepala bagian.

“Seharusnya KPU mengirim orang yang berkompeten yang bisa menjawab... (tapi) kita tidak mendapatkan informasi,” ujar Alkatiri.