Periskop.id - Dalam Sidang Majelis Umum PBB, Presiden Chile Gabriel Boric menyatakan keinginannya agar Kepala Otoritas Israel Benjamin Netanyahu dan pihak-pihak yang bertanggung jawab atas genosida terhadap rakyat Palestina, dibawa ke pengadilan internasional.

“Saya ingin melihat Netanyahu dan mereka yang bertanggung jawab atas genosida terhadap rakyat Palestina diadili di Mahkamah Internasional (ICJ) atau pengadilan internasional lainnya,” kata Boric seperti dikutip Sputnik, Rabu (24/9). 

Sementara itu, Presiden Kolombia Gustavo Petro, dalam pidatonya di Sidang Umum PBB pada Selasa, menyerukan agar angkatan bersenjata dari negara-negara Amerika Latin, Asia, dan Slavia yang menentang genosida di Gaza bersatu dengan tujuan membebaskan Palestina.

Pada Senin, Andorra, Belgia, Luksemburg, Malta, San Marino, dan Prancis secara resmi mengakui Negara Palestina dalam sebuah konferensi di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB di New York. Pernyataan tersebut menyusul langkah serupa yang diambil oleh Australia, Inggris, Kanada, dan Portugal pada 21 September.

Ketua Komisi Penyelidikan Internasional Independen PBB untuk Wilayah Pendudukan Palestina Navi Pillay menyatakan, pada 16 September Netanyahu dan sejumlah pejabat senior Israel telah mendorong terjadinya genosida di Jalur Gaza.

Israel kini menghadapi tekanan politik dan ekonomi yang semakin besar dari komunitas internasional terkait kebijakan mereka di Gaza. Sejumlah negara Eropa melarang penjualan beberapa jenis perlengkapan militer ke Israel.

Terbukti Lakukan Genosida

Sebelumnya Israel dinyatakan telah melakukan genosida terhadap warga Palestina di Jalur Gaza. Demikian temuan Komisi Penyelidikan Internasional Independen PBB mengenai Wilayah Pendudukan Palestina, termasuk Yerusalem Timur, dan Israel dalam sebuah laporan penting yang dirilis Selasa (16/9).

Komisi itu mendesak Israel dan semua negara agar memenuhi kewajiban hukum internasional untuk “mengakhiri genosida dan menghukum pihak yang bertanggung jawab.”

Setelah dua tahun penyelidikan atas peristiwa yang berlangsung sejak 7 Oktober 2023, komisi menyimpulkan, otoritas dan pasukan keamanan Israel melakukan “empat dari lima” tindakan genosida. Hal ini sebagaimana didefinisikan dalam Konvensi 1948 tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida.

Tindakan itu mencakup pembunuhan, menimbulkan luka fisik atau mental serius, dengan sengaja menciptakan kondisi kehidupan yang ditujukan untuk memusnahkan orang Palestina secara keseluruhan atau Sebagian. Termasuk memberlakukan kebijakan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran.

Pernyataan eksplisit pejabat sipil dan militer Israel serta pola tindakan pasukan keamanan menunjukkan, perbuatan tersebut dilakukan “dengan niat untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, warga Palestina di Gaza sebagai suatu kelompok,” demikian laporan tersebut menyebutkan. 

“Komisi mendapati bahwa Israel bertanggung jawab atas pelaksanaan genosida di Gaza,” kata Ketua Komisi Pencari Fakta Navi Pillay. 

“Jelas ada niat untuk memusnahkan warga Palestina di Gaza melalui tindakan yang memenuhi kriteria dalam Konvensi Genosida,” serunya. 

Menurut Pillay, tanggung jawab atas kejahatan itu berada pada “otoritas tertinggi Israel yang selama hampir dua tahun telah mengorkestrasi kampanye genosida dengan tujuan khusus menghancurkan kelompok Palestina di Gaza.”

Komisi juga menyimpulkan Israel gagal mencegah dan menghukum (siapa pun terkait) genosida. Termasuk tidak melakukan penyelidikan atas perbuatan genosida dan tidak menuntut pelaku.

Disebutkan, pemimpin Israel Isaac Herzog, kepala otoritas Benjamin Netanyahu, dan mantan kepala pertahanan Yoav Gallant telah menghasut genosida. Sementara pernyataan sejumlah pemimpin politik dan militer lainnya juga perlu diteliti.

Pillay menegaskan, Israel “secara terang-terangan mengabaikan perintah tindakan sementara dari Mahkamah Internasional serta peringatan dari negara-negara anggota, kantor PBB, organisasi hak asasi manusia, dan kelompok masyarakat sipil,”. Otoritas Israel juga “tidak memiliki niat untuk mengubah jalannya tindakan.”

Laporan itu didasarkan pada penyelidikan sebelumnya serta temuan fakta dan hukum atas operasi militer Israel di Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga 31 Juli 2025.

Misi tersebut menyebutkan tindakan Israel mencakup pembunuhan dan melukai dalam jumlah belum pernah terjadi sebelumnya. Termasuk pengepungan total yang menyebabkan kelaparan, penghancuran sistem kesehatan dan pendidikan secara sistematis, penargetan langsung terhadap anak-anak, kekerasan seksual dan berbasis gender yang meluas, serta serangan terhadap situs budaya dan keagamaan.

Komisi mendesak Israel mencabut pengepungan, menghentikan kebijakan kelaparan, dan membuka akses kemanusiaan penuh, termasuk bagi staf UNRWA dan kantor HAM PBB.

Israel juga diminta “segera menghentikan aktivitas” Yayasan Kemanusiaan Gaza (Gaza Humanitarian Foundation) yang kontroversial, karena ratusan orang tewas ketika mencoba mencapai bantuan di zona yang dikendalikan Israel.

Komisi PBB itu turut menyerukan negara anggota PBB agar menghentikan transfer senjata ke Israel. Kemudian memastikan perusahaan di bawah yurisdiksi mereka tidak membantu atau memfasilitasi genosida, serta menuntut akuntabilitas melalui penyelidikan dan proses hukum.

“Komunitas internasional tidak boleh berdiam diri terhadap kampanye genosida yang dilancarkan Israel terhadap rakyat Palestina di Gaza. Ketika tanda dan bukti genosida muncul dengan jelas, ketiadaan tindakan untuk menghentikannya sama dengan keterlibatan,” ujar Pillay.

“Setiap hari tanpa aksi menelan korban jiwa dan merusak kredibilitas komunitas internasional. Semua negara memiliki kewajiban hukum untuk menggunakan segala cara yang wajar guna menghentikan genosida di Gaza.” kata Pillay menambahkan.

Sekadar catatan, tentara Israel terus melancarkan serangan brutal ke Jalur Gaza yang telah menewaskan hampir 65.000 warga Palestina sejak Oktober 2023. Kampanye militer tersebut menghancurkan wilayah kantong itu, dan para ahli menyatakan, bencana kelaparan terjadi di sana.