Periskop.id - PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF) menekankan pentingnya keberadaan lembaga pembiayaan pembangunan (development finance institutions / DFI) dalam menjembatani kesenjangan pembiayaan yang sangat besar. Dengan kehadiran institusi ini, negara berkembang diharapkan mampu mencapai target transisi menuju net zero.

Demikian diungkapkan Presiden Direktur/CEO IIF) Rizki Pribadi Hasan saat membagikan pandangannya mengenai solusi pembiayaan inovatif untuk infrastruktur berkelanjutan. Ia menyampaikan hal tersebut dalam ajang Climate Capital, Risk and Impact Conference 2025 yang diselenggarakan oleh Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) di Mumbai, Senin (1/9).

Dalam kesempatan tersebut, Rizki hadir sebagai panelis dalam sesi bertajuk “How can public policy banks accelerate finance for transition?” bersama perwakilan dari BNDES (Brasil), NABARD (India), AFD (Prancis), dan PT SMI (Indonesia). Diskusi panel dipandu oleh B.S. Venkatesha, Deputy Managing Director NaBFID.

Rizki pun menegaskan peran IIF sebagai satu-satunya lembaga keuangan di Indonesia yang secara khusus berfokus pada pembiayaan infrastruktur sektor swasta. “Hingga saat ini, sekitar 22% dari total portofolio IIF dialokasikan untuk proyek energi terbarukan, mencakup pembangkit listrik tenaga hidro, surya, biomassa, hingga panas bumi,” ujarnya dalam keterangan yang diterima kamis (11/9).

IIF juga menjadi pelopor sejumlah instrumen pembiayaan hijau di Indonesia. Tahun 2021, misalnya, IIF menjadi lembaga non-bank pertama yang menerbitkan Global Sustainable Bond. Tahun 2024, IIF kembali mencatat sejarah dengan menerbitkan green perpetual notes pertama yang tercatat di bursa, memperluas opsi pendanaan hijau di Indonesia.

Produk Pembiayaan Inovatif
Rizki juga menyoroti peran IIF dalam melengkapi fungsi perbankan dan pasar modal melalui produk yang meningkatkan bankability proyek. Pertama, Cash Deficiency Support Facility – mekanisme pinjaman subordinasi yang menstabilkan arus kas proyek pada fase awal operasional, sehingga memberi kenyamanan bagi kreditur senior.

Lalu, Credit Enhancement Facility – mekanisme penjaminan yang dapat meningkatkan peringkat obligasi klien (misalnya dari BBB menjadi A/AA), menekan biaya pendanaan, sekaligus memperluas akses ke investor.

“Alat pembiayaan ini krusial untuk memastikan proyek infrastruktur di Indonesia tidak hanya mencapai financial close, tetapi juga berkontribusi nyata dalam agenda transisi iklim nasional,” ujar Rizki.

Bersama panelis lainnya, Rizki menekankan pentingnya kolaborasi antara DFI, perbankan, dan pasar modal. “Melalui pemanfaatan blended finance, penerapan standar ESG, serta pengembangan instrumen frontier, seperti penjaminan dan pembiayaan berbasis mata uang lokal, bank kebijakan publik diyakini dapat memainkan peran strategis dalam memobilisasi triliunan dolar yang dibutuhkan negara berkembang untuk mencapai target net zero,” bebernya. 

Partisipasi IIF dalam forum internasional ini sendiri semakin menegaskan komitmennya untuk menjadi katalis utama dalam mendorong transisi hijau di Indonesia.

“Dengan mengedepankan inovasi pembiayaan dan memperkuat kolaborasi global, IIF tidak hanya menghadirkan solusi bagi kesenjangan pendanaan infrastruktur, tetapi juga berkontribusi nyata dalam mempercepat tercapainya target pembangunan berkelanjutan dan net zero emissions,” tandasnya.