periskop.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan telah menangani 167 perkara tindak pidana di sektor jasa keuangan hingga 30 November 2025, di mana mayoritas kasus berasal dari industri perbankan yang kini sebagian besar sudah berkekuatan hukum tetap.

"Tindakan tegas ini menunjukkan bahwa OJK tak hanya mendorong inovasi, tapi juga menjaga integritas industri keuangan," kata Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK, Mirza Adityaswara, dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (12/12).

Data penanganan perkara menunjukkan pelanggaran hukum paling banyak terjadi di sektor perbankan dengan total 137 kasus.

Sektor lain menyusul dengan angka yang jauh lebih kecil. Industri perasuransian dan dana pensiun menyumbang 24 perkara, pasar modal dan bursa karbon lima kasus, serta satu kasus dari lembaga pembiayaan.

Proses hukum terhadap pelanggaran ini berjalan efektif. Sebanyak 140 perkara telah diputus pengadilan, dengan 134 di antaranya sudah berkekuatan hukum tetap alias inkracht. Enam perkara sisanya masih menunggu vonis di tingkat kasasi.

OJK juga tengah memproses puluhan kasus baru yang masuk dalam antrean penegakan hukum. Rinciannya meliputi 25 perkara tahap telaah, sembilan penyelidikan, 15 penyidikan, dan lima berkas perkara siap dilimpahkan.

Mirza menekankan penyidik OJK tidak bekerja sendirian. Kolaborasi aktif dengan Aparat Penegak Hukum (APH) lain, khususnya kepolisian, menjadi kunci keberhasilan pengungkapan kasus.

Salah satu bukti konkret sinergi ini terlihat dalam pembongkaran kasus di Kalimantan Utara. OJK bersama Polda setempat berhasil mengusut dugaan tindak pidana perbankan yang melibatkan oknum bank daerah.

Kasus ini menyeret Mantan Kepala Cabang PT BPD Kaltim Kaltara (Bankkaltimtara) Kantor Wilayah Kalimantan Utara dan Mantan Kepala Cabang Tanjung Selor, serta sejumlah debitur.

Investigasi menemukan modus operandi berupa pencatatan palsu dokumen dan laporan bank selama periode November 2022 hingga Maret 2024.

Para pelaku diduga sengaja merekayasa data pemberian 47 fasilitas kredit kepada 16 debitur. Praktik ini merugikan bank dan mencederai kepercayaan nasabah.

"Kasus ini menegaskan bahwa meski modus kejahatan di sektor perbankan bisa terselubung rapi, koordinasi antarpenegak hukum mampu menyingkapnya secara transparan dan tegas," tegas Mirza.

Para pelaku dijerat dengan Pasal 49 UU Perbankan yang telah diperbarui dalam UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Langkah ini menjadi sinyal keras OJK terhadap segala bentuk manipulasi dokumen perbankan.