periskop.id - Direktur Jenderal Pajak (DJP) Bimo Wijayanto menjelaskan penerapan kebijakan Tarif Efektif Rata-rata (TER) menjadi faktor utama yang menyebabkan kontraksi signifikan. Kontraksi ini terjadi pada penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi dan PPh Pasal 21.

“Ada penurunan PPh orang pribadi dan PPh 21 akibat terdampak TER di awal tahun,” kata Bimo dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, di Jakarta, Senin (24/11).

Data Kementerian Keuangan mencatat penerimaan dari jenis pajak PPh OP dan PPh 21 per Oktober 2025 sebesar Rp191,66 triliun. Angka ini mengalami penurunan sebesar 12,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Merespons laporan tersebut, Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun meminta DJP segera mengambil tindakan. Komisi legislatif mendesak DJP merasionalisasikan kebijakan TER agar penerimaan pajak tidak terus terkontraksi.

Bimo pun menyatakan pihaknya akan segera meninjau ulang data perhitungan. DJP berencana melakukan normalisasi perhitungan TER.

Di samping itu, DJP juga akan mempelajari realokasi deposit per jenis pajak untuk mengoptimalkan penerimaan.

Sebagai informasi, kebijakan TER telah diterapkan sejak Januari 2024. Kebijakan ini dirumuskan untuk menyederhanakan penghitungan pajak dibandingkan dengan tarif progresif Pasal 17 Undang-Undang PPh.

Namun, penerapan tarif TER kerap menimbulkan kondisi wajib pajak membayar lebih awal (lebih bayar). Konsekuensinya, otoritas pajak harus melakukan lonjakan restitusi atau pengembalian dana kepada wajib pajak.

Secara umum, realisasi penerimaan pajak neto per Oktober 2025 tercatat melambat. Penerimaan mencapai Rp1.459,03 triliun, setara 70,2% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

Perlambatan ini juga terlihat pada jenis pajak lainnya. Penerimaan PPh Badan tercatat senilai Rp237,56 triliun, atau terkoreksi 9,6% (year on year).

Penerimaan PPN dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) tercatat senilai Rp556,61 triliun, terkoreksi 10,3%.

Salah satu faktor utama melambatnya penerimaan pajak tahun ini adalah lonjakan restitusi. Jumlah pengembalian pajak ini melonjak 36,4% secara keseluruhan.

Secara nilai, restitusi pajak tercatat sebesar Rp340,52 triliun. Restitusi PPh Badan menjadi penyumbang terbesar dengan nilai Rp93,80 triliun, tumbuh 80% dari tahun lalu.

Restitusi juga berasal dari PPN dalam negeri sebesar Rp238,86 triliun (tumbuh 23,9%) dan jenis pajak lainnya Rp7,87 triliun.

Meskipun restitusi menyebabkan perlambatan penerimaan, Bimo memastikan pengembalian pajak ini berdampak positif. Ia menilai restitusi dapat menggeliatkan gerak perekonomian nasional.