Periskop.id - Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa meyakini, penempatan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun di lima bank pelat merah (Himbara) akan memicu persaingan bunga pinjaman ke bawah. Hal ini akan membuat tren suku bunga pinjaman menurun. .

Purbaya, di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (15/9) mengatakan, dana jumbo itu disimpan di lima bank umum mitra sejak Jumat (12/9). Ia yakin, hal ini membuat para direksi bank sibuk mencari cara menyalurkannya.

"Sekarang, saya duga para dirut bank pusing mau nyalurin ke mana," tuturnya. 

Purbaya menilai kondisi ini justru positif, karena bank memiliki likuiditas berlebih sehingga tidak perlu lagi bersaing lewat perang bunga. Dengan begitu, suku bunga pinjaman maupun deposito akan cenderung turun.

Penurunan ini akan menekan biaya dana (cost of money) dan memberi ruang bagi nasabah untuk lebih leluasa melakukan transaksi keuangan. “Yang jelas, cost of money turun, jadi yang punya uang nggak ragu lagi untuk belanjain, yang mau pinjam ke bank, nggak ragu untuk pinjam,” ujarnya.

Ia berharap, bunga kredit yang lebih rendah mampu memacu konsumsi masyarakat dan memperkuat pembiayaan usaha. Sementara bunga deposito yang turun akan menahan bank dari praktik persaingan tidak sehat dalam menarik dana pihak ketiga.

Seperti diketahui, pemerintah menempatkan dana sebesar Rp200 triliun pada lima bank umum mitra untuk memperkuat likuiditas perbankan nasional. Kelima bank tersebut adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Mandiri, Bank Tabungan Negara (BTN), dan Bank Syariah Indonesia (BSI).

Ketentuan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025 yang ditandatangani Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa dan mulai berlaku sejak Jumat (12/9). Setiap bank penerima wajib melaporkan penggunaan dana kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Perbendaharaan Astera Primanto Bhakti secara bulanan.

Adapun limit penempatan dana pada masing-masing bank ditetapkan berbeda, yakni BRI, BNI, dan Bank Mandiri masing-masing Rp55 triliun, BTN Rp25 triliun, serta BSI Rp10 triliun.

Permintaan Kredit

Sementara itu, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menyoroti pentingnya solusi untuk meningkatkan permintaan kredit. Hal ini agar kebijakan penempatan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun di bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) berjalan efektif.

“Sepanjang isu permintaan (kredit) tidak dicarikan solusi, dunia usaha tidak akan ekspansif. Sehingga menggelontorkan likuiditas perbankan tidak akan membantu,” kata Wijayanto, di Jakarta, Senin.

Sebagaimana diketahui, terjadi perlambatan pertumbuhan kredit yang terjadi belakangan ini. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, penyaluran kredit nasional tetap tumbuh pada Juli 2025 sebesar 7,03% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp8.043,2 triliun. Pertumbuhan tersebut melambat dari 7,77% pada Juni, sekaligus menjadi laju paling rendah sejak Maret 2022.

Perlambatan itu turut mencerminkan pelemahan daya beli masyarakat, serta meningkatnya kehati-hatian perbankan dalam menyalurkan kredit. Di sisi lain, undisbursed loan atau kredit yang belum terealisasi justru naik 9,52%, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan tahun lalu sebesar 6,89%.

Wijayanto melanjutkan, penyaluran dana pemerintah yang dilakukan menkeu sendiri, sebaiknya difokuskan pada sektor-sektor yang terbukti mampu mendorong perekonomian.

“Dana Rp200 triliun sebaiknya untuk mendanai sektor-sektor yang sudah teruji menciptakan lapangan kerja dan (meningkatkan) daya beli,” serunya. 

Meski demikian, dirinya memandang kebijakan tersebut tetap tidak bisa berdiri sendiri. "Kebijakan ini tidak bisa berjalan sendiri, harus diikuti dengan perbaikan iklim usaha dan perbaikan daya beli. Jika berjalan sendiri, kebijakan ini justru akan membebani sektor perbankan dengan risiko yang tidak perlu," ujarnya.

Di samping itu, penarikan Rp200 triliun dari Sisa Anggaran Lebih (SAL) di Bank Indonesia juga bisa berpotensi menggerus cadangan fiskal pemerintah.

"Menarik Rp200 triliun dari SAL di BI, mengurangi outstanding SAL menjadi Rp250 triliun. Jika kondisi fiskal terus memburuk di 2025 dan 2026; ia tidak akan memadai untuk memberi talangan bagi belanja APBN saat penerimaan pajak terlambat masuk," tandasnya.