Periskop.id - Belum lama ini Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengumumkan 10 juta rekening dormant yang menerima bantuan sosial (bansos). Kemudian PPATK kembali mengumumkan 571.410 data penerima bansos terindikasi terlibat pinjol, judol, bisnis narotika, dan terorisme.
“Ini tentu mengagetkan kita semua. Terutama terkait dengan penerima bansos fiktif. Karena rekening penerima bansos diduga kuat tidak memiliki pemilik yang sebenarnya (fiktif) atau dormant. Tetapi lebih aneh lagi, rekening tersebut banyak yang aktif. Terjadi penarikan setelah dana bansos masuk,” kata Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti dalam keterangannya, Senin (15/9).
Menurut PPATK, rekening-rekening tersebut hanya digunakan untuk menampung dana bansos, kemudian ditarik oleh pihak-pihak yang tidak berhak. Artinya, ada pihak tertentu yang mengendalikan rekening-rekening tersebut.
Artinya, ada uang triliunan rupiah yang dikumpulkan dari jutaan rekening fiktif tersebut selama periode bansos dikucurkan. Terutama dari temuan PPATK yang menunjukkan adanya anomali data penerima bansos dari tahun ke tahun.
“Pertanyaannya siapa yang mampu mengorganisir dan melakukan kejahatan dengan modus operandi sistem penerima bansos fiktif itu?,” ujar LaNyalla.
Tentu, hal tersebut bukan pekerjaan mudah. Mulai dari penyiapan rekening, input data penerima, penarikan atau pemindahan uang masuk, dan seterusnya. “Tentu bukan perorangan. Pasti melibatkan sindikasi yang terstruktur dan sistematis. Dan yang pasti punya akses ke perbankan dan sistem input data di Kementerian,” ucapnya.
Catat, angka yang digelontorkan APBN untuk semua jenis bantuan sosial atau perlindungan sosial, sejak tahun 2014 hingga 2024, lintas kementerian sangatlah besar. Sebagai contoh, dalam di tahun 2024, pemerintah mengalokasikan anggaran perlindungan sosial (perlinsos) dalam RAPBN 2024 sebesar Rp.493,5 triliun. Angka ini meningkat 12,4% dari tahun sebelumnya.
Total, selama 10 tahun Pemerintahan Presiden Joko Widodo, sejak tahun 2014 hingga 2024, belanja perlindungan sosial oleh pemerintah telah mencapai angka yang hampir menyentuh Rp4.000 triliun. “Bayangkan jika sejak saat itu telah terjadi modus penyimpangan yang disengaja oleh sindikat bansos fiktif, berapa nilai kerugian negara?,” serunya.
Oknum Pegawai
Ia merinci, jika saja mereka berhasil membajak 10% dari Rp4000 triliun, artinya uang yang dicuri mencapai Rp400 triliun dalam 10 tahun atau Rp40 triliun pertahun. Padahal, jika uang Rp40 triliun setahun itu digunakan untuk memberi tambahan gaji guru honorer setiap bulan Rp2 juta atau Rp24 juta pertahun, maka akan dapat membiayai 1,6 juta guru honorer dalam satu tahun
“Jadi, sekali lagi, siapa sebenarnya mereka yang mampu mengorganisir secara sistematis dan terstruktur kejahatan yang sangat jahat ini? tanya LaNyalla.
Pertanyaannya lagi, apakah ada oknum pejabat atau pegawai pemerintah yang terlibat karena memiliki akses ke sistem data bansos dan Sistem Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS)? Buka apa-apa, dengan akses yang dimiliki, mereka dapat memasukkan data fiktif, termasuk nama, nomor induk kependudukan (NIK), dan alamat palsu, ke dalam sistem.
“Karena tanpa akses internal, sangatlah sulit untuk menambahkan puluhan juta data penerima fiktif tanpa terdeteksi. Oknum ini juga bisa memanfaatkan celah dalam sistem verifikasi untuk meloloskan data palsu,” ucap LaNyalla.
Lalu, apakah juga ada oknum perbankan? Dugaan ini masuk akal, mengingat sindikat ini pasti memerlukan bantuan dari oknum di bank untuk membuka rekening fiktif tanpa pemilik yang sah atau dengan identitas palsu.
“Pembukaan rekening dalam jumlah besar dan secara tidak wajar akan menarik perhatian. Kecuali ada orang dalam di bank yang memfasilitasinya. Termasuk menyediakan akses untuk penarikan dana setelahnya,” cetusnya.
Apakah juga melibatkan pihak lapangan yang bertugas sebagai perekrut KTP dan penarik dana? Patut dicurigai, mengingat kelompok ini bertugas di lapangan untuk menarik dana yang telah masuk ke rekening fiktif.
“Mereka bisa menggunakan berbagai cara. Seperti kartu ATM yang sudah disiapkan atau kerja sama dengan agen perbankan untuk pencairan. Kelompok ini bisa disebut sebagai eksekutor di ujung rantai,” kata LaNyalla.
Maka, imbuh LaNyalla, wajar bila ada dugaan para pelaku kejahatan penerima bansos fiktif ini adalah sindikat. Karena penerima fiktif itu dalam skala besar. Bukan puluhan atau ratusan orang, yang bisa kita sebut sebagai human errorpetugas input data.
“Tetapi ini jutaan, dan dana itu dikelola. Masuk dan kemudian ditarik. Di mana prosesnya dimulai dari birokrasi pemerintahan (data), dilanjutkan ke sektor perbankan (rekening), dan diakhiri dengan pencairan di lapangan,” serunya.
Lintas Sektor
Keterlibatan lintas sektor ini, lanjutnya, adalah ciri khas sindikat kejahatan terorganisir. “Lazimnya pasti ada “otak” di balik operasi ini, yang mengatur strategi. Sementara anggota lainnya menjalankan peran masing-masing. Seperti pembuat data fiktif, pembuka rekening, dan penarik dana,” tuturnya.
Oleh karena itu, kata LaNyalla, ia mendukung penuh permintaan Presiden Prabowo kepada Kepala PPATK untuk membongkar habis dan tuntas skandal penerima bansos fiktif ini. Segera setelah itu, sambungnya, PPATK harus menyerahkan kepada KPK RI untuk ditindaklanjuti.
Pasalnya, hal ini merupakan kejahatan luar biasa. Selain merugikan negara, juga merugikan rakyat yang seharusnya berhak menerima.
“Saya sudah pernah mengingatkan soal ini pada tahun 2022 silam. Saat saya menjabat Ketua DPD RI. Saat itu KPK menemukan 16,7 juta orang tanpa NIK yang tercatat dalam DTKS Kemensos sebagai penerima bansos. Di luar itu juga ada NIK ganda sebanyak 1,06 juta orang. Ditambah 234 ribu orang yang meninggal, tapi masih ada di DTKS,” ucap Ketua DPD RI ke 5 tersebut.
Sengkarut data, ucap LaNyalla, juga pernah ia sampaikan terkait data jumlah desa penerima dana desa, mengingat ada perbedaan data antara Kemenkeu dan Kemendes. Kemenkeu sendiri menyebut ada 15 desa fiktif yang menerima dana desa.
Kekacauan ini, sejatinya sudah terjadi sejak dulu. Kondisi ini adalah celah bagi sindikat yang ingin mencuri uang APBN. “Karena itu, saya berharap program Data Tunggal Sosial Ekonomi (DTSEN) yang diluncurkan Presiden Prabowo dapat segera tuntas. Untuk merapikan serta menghapus celah sindikat pencuri uang bantuan sosial ini,” tuturnya.
Dengan data yang terpadu dan berasal dari satu basis, ia yakin akan dapat digunakan oleh semua kementerian dan lembaga dalam menyalurkan program-program perlindungan sosial. Sebab, LaNyalla bilang, jika basis datanya saja sudah salah, maka program yang dijalankan pasti tidak akan tepat sasaran.
DTSEN sendiri juga bisa digunakan untuk menentukan kebijakan pendirian Sekolah Rakyat. Prioritas pembangunan dapur Makan Bergizi Gratis. Juga untuk penajaman konsentrasi dan jenis usaha Koperasi Merah Putih yang tentu berbeda satu daerah dengan daerah lainnya. Tentu, kata LaNyalla, verifikasi lapangan secara berkala tetap harus dilakukan.
“Yang lebih penting, ayo kita bersih-bersih. Saatnya kebocoran APBN yang disengaja kita akhiri. Menurunnya tingkat korupsi, ekuivalen dengan angka peningkatan pertumbuhan ekonomi. Bukan mustahil kita bisa menuju Indonesia yang lebih sejahtera, dengan membangun semangat kebersamaan (Prabowonomics) dan mengakhiri sifat keserakahan (Serakahnomics),” tandasnya.
600 Rekening
Sementara itu, Menteri Sosial Saifullah Yusuf mengungkap alasan sekitar 600 ribu rekening diduga bermasalah, masih diberi kesempatan menerima bantuan sosial (bansos) dari Kementerian Sosial kembali. Syaratnya, menyelesaikan proses verifikasi dan pemutakhiran data.
Mensos sendiri menemukan sebagian rekening penerima bansos itu terindikasi menyalahgunakan bantuan. Sementara sebagian lainnya diduga hanya dimanfaatkan data mereka oleh pihak lain atau mengalami kesalahan administratif.
“Sebagian ada yang benar-benar menyalahgunakan, ya katakanlah salah satunya bertransaksi judi online, tapi ada juga yang dimanfaatkan pihak lain. Oleh karena itu kami beri kesempatan untuk melakukan pemutakhiran data,” ucapnya.
Kementerian Sosial menilai, konteks dari kebijakan tersebut adalah memastikan segenap bantuan bisa benar-benar sampai kepada para penerima manfaat yang merupakan keluarga dengan tingkat kesejahteraan terendah atau miskin dan rentan. Bukan semata-mata menghukum dengan cara menghentikan bansosnya.
“Bagaimana misalnya mereka itu keluarga yang masih tergantung dengan intervensi pemerintah? kalau tidak hidupnya sangat susah? makanya kita buka kesempatan verifikasi. Jika setelah diverifikasi mereka terbukti memenuhi kriteria, tentu tetap berhak menerima bansos,” ujarnya.
Sebelumnya, Kementerian Sosial mengumumkan sebanyak 600 ribu rekening penerima bansos terindikasi anomaly. Termasuk keterlibatan judi online oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Dari jumlah tersebut, Kementerian Sosial pada Agustus lalu menyatakan telah mencoret sebanyak 228 ribu rekening dari daftar distribusi bansos Sisanya, lebih dari 375 ribu rekening masih dalam tahap pendalaman dengan memeriksa profil penerima, identitas pekerjaan, dan aktivitas transaksi.
Menteri Sosial dalam kesempatan itu menegaskan, langkah tersebut sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2025 yang mengarahkan agar bansos disalurkan tepat sasaran, berdasarkan data akurat, mutakhir, dan terverifikasi.
Tinggalkan Komentar
Komentar