Periskop.id - Nama Jalan TB Simatupang kini identik dengan pusat perkantoran dan kemacetan. Namun, di balik hiruk pikuknya, jalan ini menyimpan sejarah panjang yang membentang dari era kolonial hingga menjadi koridor bisnis strategis. Nama tersebut diabadikan untuk menghormati Letnan Jenderal Tahi Bonar Simatupang, seorang pahlawan nasional yang mengukir sejarah sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata RI pada 1950–1953.

Kisah Jalan TB Simatupang dimulai jauh sebelum ia menjadi arteri padat. Pada masa penjajahan Belanda, kawasan ini merupakan lahan pertanian, khususnya kebun tebu. Jejak sejarah ini masih ditemukan hingga kini. Pada 30 Oktober 2021, Dinas Kebudayaan DKI Jakarta bersama Pusat Konservasi Cagar Budaya mengevakuasi batu penggilingan tebu abad ke-18 yang ditemukan di trotoar jalan, sebagaimana dilaporkan Antara.

Pergeseran Fungsi dan Transformasi Kota

Dalam Rencana Induk Jakarta 1965–1985 di era Gubernur Ali Sadikin, Jalan TB Simatupang mulai dirancang sebagai jalur arteri selatan. Tiga tujuan utamanya adalah:

  • Menjadi jalur distribusi lalu lintas di Selatan Jakarta yang menghubungkan kawasan timur–barat tanpa harus melalui pusat kota.
  • Mengurangi beban Jalan Lenteng Agung, Pasar Minggu, hingga Fatmawati yang sejak 1970-an sudah padat.
  • Menjadi buffer zone bagi kawasan perumahan baru seperti Cilandak, Jagakarsa, dan Kebagusan.

Pada awalnya, jalan ini berfungsi sebagai lingkar luar yang menghubungkan wilayah Cilandak hingga Pondok Indah, dengan dominasi perumahan dan industri ringan.

Namun, seiring waktu, fungsinya mulai bergeser. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 1985–2005, sebagian kawasan ini ditetapkan sebagai zona komersial dan perkantoran. Pergeseran ini didorong oleh beberapa faktor, termasuk pembangunan Tol Jagorawi (1978) dan Jakarta Outer Ring Road (JORR) pada 1987-1990an, ketersediaan lahan yang luas, dan kebijakan desentralisasi bisnis dari pemerintah provinsi.

Memasuki dekade 2000-an, pertumbuhan perkantoran di sepanjang Jalan TB Simatupang semakin pesat. Jalan ini diproyeksikan sebagai Central Business District (CBD) kedua setelah Sudirman-Thamrin, yang sayangnya tidak diimbangi dengan pelebaran jalan atau pembangunan transportasi massal yang memadai.

Kini, Jalan TB Simatupang menjadi saksi bisu dari transformasi kota. Dari kebun tebu yang damai, ia telah berubah menjadi koridor bisnis strategis. Setiap hari, jutaan orang melintas di jalan ini, tanpa menyadari bahwa mereka sedang berjalan di atas sejarah, sekaligus mengenang jasa seorang pahlawan yang profesionalismenya telah abadi di nama jalan ini.