periskop.id - Sebuah studi dari Institute For Demographic And Poverty Studies (IDEAS) berjudul “Ilusi Mobilitas Ekonomi: Kapital Tak Terbatas” mengungkapkan fakta mengejutkan mengenai mobilitas sosial-ekonomi di Indonesia: sangat sulit bagi seseorang untuk naik kelas, sementara orang kaya cenderung tetap berada di posisi atas.

Dengan menggunakan data Indonesian Family Life Survey (IFLS) selama 21 tahun (1993–2014), penelitian tersebut menunjukkan bahwa status sosial orang tua memiliki peran yang lebih besar dalam menentukan nasib seseorang dibandingkan pendidikan.

Studi IDEAS melacak nasib anak-anak yang lahir dari keluarga dengan status ekonomi berbeda pada tahun 1993. Hasilnya menunjukkan bahwa 96,6% anak dari keluarga menengah-atas tetap berada di kelas sosial yang sama pada tahun 2014, sementara hanya 3,4% yang mengalami penurunan kelas.

Di sisi lain, anak-anak dari keluarga miskin pada 1993 menghadapi tantangan yang jauh lebih besar. Meskipun 88,4% dari mereka berhasil naik ke kelas menengah, sisanya 11,6% masih terjebak dalam kemiskinan. 

Ketika standar kemiskinan dinaikkan dua kali lipat, situasinya semakin mengkhawatirkan. Studi tersebut menemukan bahwa hanya 57,8% anak dari keluarga miskin yang benar-benar mengalami perbaikan hidup, sementara 42,2% lainnya tetap berada di bawah garis kemiskinan.

Sebaliknya, pada kelompok kaya, 80,7% anak-anak tetap bertahan di kelas atas meskipun garis kemiskinan ditingkatkan.

Kondisi ini menunjukkan adanya fenomena positional rigidity, di mana individu cenderung tetap berada di kelas sosial yang sama dengan orang tuanya. 

Studi yang dilakukan oleh I. R. I. Pattinasarany dalam disertasinya berjudul Intergenerational Vertical Social Mobility: Studies on Urban Society in the Province of West Java and East Java pada tahun 2012 menguatkan temuan ini, dengan menyebut dua faktor penentu utama mobilitas sosial, yakni status sosial ayah dan pendidikan. Meskipun pendidikan dianggap penting, status orang tua jauh lebih menentukan nasib sosial seseorang.

Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat bahwa kelas menengah di Indonesia berada dalam posisi yang rapuh. Per tahun 2024, rentang kelas menengah adalah Rp2,04 juta hingga Rp9,9 juta per kapita per bulan. Namun, rata-rata pendapatan mereka hanya sekitar Rp2,84 juta, angka yang sangat dekat dengan batas bawah, membuat mereka rentan kembali jatuh miskin. 

BPS menyebutkan bahwa untuk masuk ke kelas atas, pengeluaran per kapita harus mencapai minimal Rp7,06 juta per bulan, sebuah target yang sulit dicapai bagi sebagian besar masyarakat.