Periskop.id - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis sejumlah rekomendasi penting yang bertujuan memperkuat perlindungan bagi korban kekerasan berbasis gender (KBG), khususnya perempuan. Rekomendasi ini disusun berdasarkan pendokumentasian mendalam yang dituangkan dalam Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan.

Anggota Komisi Paripurna sekaligus Peneliti Komnas Perempuan, Chatarina Pancer, menyatakan bahwa pendokumentasian pola kekerasan ini sangat penting untuk merespons dinamika yang ada.

“Nah ini tentu saja kami menyusunnya karena pendokumentasian itu sangat penting ya. Dengan adanya dokumentasi, kita bisa berbuat sesuatu yang lebih dari sekadar data-data yang tersimpan. Jadi ini merupakan upaya pendokumentasian kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Karena semakin hari itu hal-hal yang dihadapi oleh perempuan Indonesia itu khusus ya, khas,” kata Chatarina dalam pertemuan daring bertajuk “Soft Launching Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan” di Jakarta, seperti dikutip oleh Antara pada Senin (15/12).

Ia menambahkan, pemutakhiran Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia ini berfungsi sebagai media advokasi sekaligus upaya penguatan pencegahan dan pendampingan korban, yang harus disesuaikan dengan konteks sosial dan teknologi yang terus berubah.

Tiga Pilar Rekomendasi Komnas Perempuan

Komnas Perempuan mengajukan beberapa poin kunci untuk reformasi sistem perlindungan korban KBG, di antaranya:

  1. Penguatan Pengetahuan Interseksionalitas: Diperlukan penguatan pengetahuan tentang beragam bentuk dan isu kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dalam relasi personal, yang kini diperluas untuk mencakup ranah teknologi digital.
  2. Penguatan Implementasi Hukum: Komnas Perempuan menilai pentingnya penguatan implementasi hukum yang berperspektif korban dan gender. Hal ini memerlukan sosialisasi dan pelatihan intensif untuk aparat penegak hukum (APH).
  3. Reformasi Sistem Layanan: Diperlukan reformasi sistem layanan guna memastikan akses dan keamanan korban. Rekomendasi ini mencakup peningkatan kapasitas Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), penyediaan layanan darurat digital, serta penguatan rumah aman dan jaringan layanan berbasis komunitas melalui pendanaan berkelanjutan.

Tantangan Berat dalam Penanganan Kasus

Chatarina menyimpulkan bahwa implementasi perlindungan masih menghadapi sejumlah tantangan yang substansial.

Pada penanganan kasus KBG terhadap istri, ia menyoroti bahwa perubahan normal yang tidak sistematis masih menjadi hambatan. Hal ini diperburuk oleh masih adanya aturan daerah yang restriktif (membatasi) terhadap perempuan sebagai korban yang melapor.

Tantangan lain yang sangat tinggi adalah fenomena delay in justice (penundaan keadilan) hingga pemberian restorative justice (keadilan restorasi) bagi pelaku pada kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yang seringkali merugikan korban.

Selain itu, korban KBG terhadap istri kerap mengalami kesulitan ketika meminta hak restitusi karena proses yang rumit, dan ketersediaan layanan yang masih terkonsentrasi di wilayah perkotaan.

Stigma dan Hambatan Hukum pada Kasus Pacaran

Komnas Perempuan juga menyoroti tantangan unik pada penanganan kasus KBG terhadap pacar dan serupa pacar. Tantangan ini bersumber dari persepsi publik yang cenderung lebih buruk terhadap korban dalam relasi pacaran dan kohabitasi, karena dinilai sebagai bagian dari pergaulan bebas dan dilabeli sebagai perempuan yang tidak bisa diatur.

Secara hukum, Chatarina menyoroti rumitnya penggunaan undang-undang yang ada. 

“Kemudian KUHP cenderung tidak memadai bagi perempuan korban ingkar janji. Jadi kalau diingkari janji, payung hukumnya juga di KUHP belum memadai,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan dilema UU Pornografi.

“Ini ada lagi Undang-Undang Pornografi, mesti di satu kasus digunakan untuk intervensi pelaku, namun di kasus lain malah menjadi kebijakan diskriminatif untuk korban. Jadi misalnya dianggap dia juga buruk karena memproduksi konten yang asusila,” jelasnya.

Hal ini menunjukkan bahwa payung hukum yang ada belum sepenuhnya memberikan perlindungan yang utuh dan berkeadilan bagi korban.