periskop.id Setiap tanggal 24 Agustus, Indonesia memperingati Hari Televisi Nasional, sebuah momen yang, menurut berbagai catatan sejarah, tak terpisahkan dari stasiun televisi pertama dan tertua di tanah air: Televisi Republik Indonesia (TVRI). 

Jauh sebelum era platform streaming dan konten on-demand, TVRI adalah satu-satunya jendela visual bagi jutaan rakyat Indonesia untuk melihat dunia, mendapatkan informasi, dan menikmati hiburan. 

Perjalanannya adalah cerminan dari sejarah bangsa itu sendiri—dari sebuah proyek ambisius untuk citra negara, menjadi alat ideologis, hingga bertransformasi menjadi lembaga penyiaran publik di tengah gempuran era digital.

Artikel ini akan menelusuri jejak panjang TVRI, dari detik-detik kelahirannya yang dipicu oleh perhelatan olahraga akbar, masa keemasannya sebagai penguasa tunggal layar kaca, hingga tantangan dan adaptasinya di lanskap media modern yang terus berubah.

Kelahiran Sang Pelopor: Proyek Ambisius untuk Asian Games 1962

Kelahiran TVRI bukanlah sebuah evolusi media yang organik, melainkan sebuah proyek kebangsaan yang lahir dari kebutuhan mendesak. 

Pada awal 1960-an, Indonesia terpilih menjadi tuan rumah Asian Games IV, sebuah ajang olahraga bergengsi tingkat Asia. Pemerintah di bawah Presiden Soekarno melihat ini sebagai kesempatan emas untuk menunjukkan citra Indonesia kepada dunia. 

Untuk menyukseskan siaran perhelatan akbar ini, pemerintah, seperti yang tercatat dalam dokumen sejarah TVRI, memutuskan untuk memasukkan proyek media massa televisi ke dalam bagian integral dari pembangunan infrastruktur Asian Games IV.   

Dengan persiapan yang terbilang singkat, kurang dari satu tahun, infrastruktur penyiaran mulai dibangun. Sebelum siaran resminya, TVRI melakukan siaran percobaan bersejarah pada 17 Agustus 1962. 

Menurut catatan sejarah yang terdokumentasi, siaran perdana dari halaman Istana Merdeka ini menyiarkan upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI dalam format hitam-putih dengan dukungan pemancar cadangan berkekuatan 100W.   

Puncaknya terjadi pada 24 Agustus 1962. Pada tanggal inilah TVRI secara resmi mengudara untuk pertama kalinya dengan menyiarkan secara langsung upacara pembukaan Asian Games IV dari Stadion Utama Gelora Bung Karno. Momen inilah yang menandai dimulainya era pertelevisian di Indonesia dan tanggal tersebut kemudian ditetapkan sebagai hari jadi TVRI sekaligus Hari Televisi Nasional.   

Era Monopoli dan Peran Sebagai "Media Pemersatu Bangsa"

Setelah sukses menyiarkan Asian Games, status TVRI dilembagakan dalam bentuk Yayasan Televisi Republik Indonesia pada tahun 1963. 

Selama lebih dari dua dekade, TVRI menjadi satu-satunya stasiun televisi di Indonesia. Di era Orde Baru, statusnya berubah menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Departemen Penerangan, yang menurut sebuah riset dari UIN Suska Riau, mengukuhkan perannya sebagai corong informasi pemerintah. Program-programnya, terutama siaran berita seperti Dunia Dalam Berita, cenderung menyiarkan narasi pemerintah dan, seperti yang dianalisis dalam Jurnal Istoria UNY, mengindoktrinasi kebesaran penguasa saat itu.

Meskipun demikian, di era inilah TVRI juga melahirkan program-program legendaris yang melekat erat dalam memori kolektif masyarakat. 

Program edukatif seperti pertunjukan boneka Si Unyil menjadi tontonan wajib anak-anak dan keluarga. Pada periode ini, TVRI benar-benar menjalankan fungsinya sebagai media pemersatu, di mana seluruh bangsa dari Sabang sampai Merauke menonton program yang sama pada waktu yang bersamaan.

Salah satu kebijakan unik pada era ini adalah larangan total penayangan iklan komersial yang berlaku sejak 1 April 1981 atas instruksi Presiden Soeharto. Selama bertahun-tahun, satu-satunya "iklan" yang muncul adalah layanan masyarakat atau program khusus bernama Mana Suka Siaran Niaga.   

Tantangan Baru: Lahirnya Televisi Swasta dan Era Kompetisi

Monopoli TVRI berakhir pada 24 Agustus 1989, dengan mengudaranya Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) sebagai stasiun televisi swasta pertama di Indonesia. Menurut catatan sejarah penyiaran, kehadiran RCTI, yang awalnya hanya bisa dinikmati pelanggan berbayar dengan dekoder, segera disusul oleh stasiun swasta lainnya seperti SCTV pada 1990, serta TPI (kini MNCTV), ANTeve (kini ANTV), dan Indosiar pada tahun-tahun berikutnya.   

Lahirnya televisi swasta menyuntikkan dinamisme baru, namun sekaligus menjadi tantangan terbesar bagi TVRI. 

Menghadapi persaingan ketat, TVRI berjuang menemukan kembali identitasnya. Status kelembagaannya pun, seperti yang tertera di situs resmi PPID TVRI, terus mengalami perubahan, dari UPT menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan) pada tahun 2000, lalu menjadi Perseroan Terbatas (PT) pada 2002, sebelum akhirnya menemukan bentuk finalnya.   

Transformasi Menjadi Lembaga Penyiaran Publik

Titik balik penting dalam sejarah modern TVRI terjadi pada tahun 2005. Melalui Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002, TVRI ditetapkan sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP). Perubahan status ini secara fundamental mengubah misi dan orientasi TVRI. Sebagai LPP, TVRI tidak lagi bertujuan mencari keuntungan atau melayani kepentingan pemerintah, melainkan untuk melayani kepentingan publik.   

Tugas utamanya adalah menyediakan pelayanan informasi, pendidikan, dan hiburan yang sehat, serta berfungsi sebagai kontrol sosial dan perekat bangsa dengan melestarikan budaya. Dengan mandat ini, TVRI memperkuat kehadirannya di seluruh pelosok negeri, dengan stasiun penyiaran daerah di hampir setiap provinsi yang memproduksi konten lokal.   

Menavigasi Era Digital: TVRI di Abad ke-21

Memasuki abad ke-21, tantangan kembali datang dari disrupsi teknologi. Menghadapi pergeseran perilaku penonton yang, menurut berbagai studi akademis, beralih ke platform streaming seperti YouTube dan Netflix, TVRI berupaya keras untuk beradaptasi. Salah satu langkah transformatif terbesar adalah migrasi dari siaran analog ke digital, atau yang dikenal sebagai Analog Switch-Off (ASO). Kebijakan ini, sebagaimana tertuang dalam regulasi pemerintah, bertujuan untuk efisiensi penggunaan spektrum frekuensi yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi digital.

TVRI juga meluncurkan kanal-kanal digital baru seperti TVRI World yang berorientasi internasional dan TVRI Sport yang fokus pada tayangan olahraga. Upaya peremajaan juga terlihat dari sisi citra korporat. 

Pada 29 Maret 2019, TVRI meluncurkan logo baru yang lebih modern, segar, dan minimalis. Perubahan ini membawa harapan untuk memposisikan TVRI sebagai lembaga penyiaran publik kelas dunia (world class public broadcasting) sambil tetap memegang teguh motonya sebagai "Media Pemersatu Bangsa".  

Warisan dan Masa Depan TVRI

Dari siaran hitam-putih perdana di tengah gegap gempita Asian Games 1962 hingga menjadi entitas media multi-platform di era digital, perjalanan TVRI adalah sebuah epik panjang yang sarat akan perubahan. Ia telah menjadi saksi bisu sekaligus perekam sejarah perjalanan bangsa Indonesia selama lebih dari enam dekade.

Meskipun tantangan di era persaingan media yang hiper-kompetitif semakin berat, warisan TVRI sebagai pelopor dan perannya sebagai media pemersatu bangsa tetap tak ternilai. 

Di tengah lautan konten yang terfragmentasi, misinya untuk menyajikan tayangan yang mendidik, informatif, dan merekatkan keberagaman Indonesia menjadi semakin relevan dan krusial. Perjalanan TVRI masih terus berlanjut, beradaptasi dan berevolusi untuk tetap menjadi suara dan wajah Indonesia di layar kaca.