periskop.id - Film Diponegoro Hero: 200 Tahun Perang Jawa mencuri perhatian publik bukan sebagai karya yang mengangkat tema pahlawan nasional, tetapi karena pembuatannya yang memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (AI). 

Sebelum hari pemutarannya, film ini telah menjual 1.250 tiket, menandakan antusiasme tinggi dari masyarakat. Diputar perdana di Cinepolis Senayan Park, Jakarta pada 14 Agustus 2025, film ini menyuguhkan visual dan narasi sejarah yang belum pernah ditampilkan sebelumnya.

Dengan durasi 30 menit, film ini merekonstruksi perjuangan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825–1830) melawan kolonial Belanda. Teknologi AI digunakan untuk membangun ulang suasana kota, medan perang, hingga karakter tokoh dengan detail tinggi. 

“Film kami hanya menghabiskan kurang lebih 200 juta rupiah untuk produksi selama satu bulan. Kalau film konvensional mungkin bisa menghabiskan waktu dan uang yang jauh lebih besar,” ujar produser King Bagus mengutip Antara.

CEO Mars Media, Koni, menyebut bahwa meski belum sempurna, banyak penonton menilai film ini layak diputar di Istana Negara pada peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI. Ia juga mengungkap rencana untuk memperpanjang durasi film menjadi satu jam dan memproduksi lebih banyak film edukasi bertema pahlawan nasional dengan dukungan teknologi AI. 

“Perkembangan teknologi tidak bisa dibendung. Kita harus memanfaatkannya untuk tujuan positif, termasuk membuka peluang bagi siapa pun yang ingin menjadi kreator film,” kata Koni.

Gala premiere film ini turut dihadiri oleh Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Prof. Atip Latipulhayat serta Deputi Bidang Usaha Mikro Kementerian UMKM Riza Damanik. Kehadiran mereka menjadi simbol dukungan pemerintah terhadap penggabungan teknologi modern dengan warisan sejarah bangsa.

Mengutip BBC, sejak awal sejarah perfilman, para pembuat film telah bereksperimen dengan efek visual, mulai dari teknik sederhana seperti menghentikan kamera dan mengganti aktor dengan boneka, hingga penggunaan animasi, model, dan CGI yang kompleks. 

Namun, proses pembuatan efek visual berkualitas tinggi selama ini memakan waktu dan biaya besar—hingga hadirnya kecerdasan buatan generatif (AI) seperti DALL·E, Midjourney, dan Firefly yang mampu menghasilkan gambar menakjubkan hanya dari deskripsi teks.

Teknologi AI kini memungkinkan pengeditan gambar dan video secara instan, seperti mengganti pakaian karakter, menghapus latar belakang, atau bahkan mengubah ekspresi dan usia aktor. Hal ini membuka peluang bagi siapa pun untuk membuat film sepenuhnya berbasis AI, tanpa perlu aktor atau kru produksi besar.

Meski AI menawarkan efisiensi luar biasa, keterbatasan kreativitas dan isu hak cipta membuatnya belum bisa sepenuhnya menggantikan peran manusia. Efek visual yang dulunya menjadi daya tarik utama film kini bisa dibuat dengan mudah, sehingga nilai “keistimewaan” bisa saja memudar. Tapi selalu kembali lagi, teknologi hanya membutuhkan waktu untuk menjawab semua keraguan-keraguan kita hari ini.