periskop.id - Pertandingan kualifikasi antara Indonesia kontra Arab Saudi di tanah tuan rumah memunculkan gelombang pertanyaan tentang seberapa adil laga tersebut bisa berjalan.
Dari awal, penunjukan wasit yang berasal dari kawasan yang sama dengan tuan rumah menimbulkan desas-desus akan tendensi dalam keputusan krusial. Meskipun sepak bola modern menjunjung tinggi netralitas, keraguan akan keberpihakan sulit dibendung ketika sorot lampu stadion lebih menyoroti kesalahan kecil tim tamu daripada tim tuan rumah.
Gelombang keraguan semakin besar ketika pelanggaran Indonesia kerap dikenai sanksi keras, sementara insiden serupa dari pemain tuan rumah lepas tanpa kartu.
Analisis sederhana terhadap perbandingan jumlah kartu kuning dan penalti memperlihatkan selisih mencolok yang tidak semata-mata dijelaskan oleh intensitas permainan. Seolah ada garis tipis yang membedakan pelanggaran keras dan sengaja diuntungkan, kepercayaan publik terhadap objektivitas wasit pun terkikis.
Atmosfer stadion juga memainkan peran penting dalam menciptakan imbalance psikologis bagi tim tamu. Di lapangan, gelombang dukungan tersebut dapat mengacaukan konsentrasi, hal-hal yang sebenarnya bisa dihindari jika pertandingan ada di lokasi netral.
PSSI melayangkan komplain resmi terkait pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2026 antara Indonesia dan Arab Saudi. Berisi keberatan dengan penunjukan wasit Ahmad Al Ali asal Kuwait, karena dianggap berasal dari kawasan yang sama dengan tuan rumah sehingga berpotensi menimbulkan bias.
Ketua Umum PSSI Erick Thohir bahkan mengirim surat resmi ke AFC dan FIFA untuk meminta agar wasit diganti dengan pengadil dari wilayah yang lebih netral, misalnya dari Jepang, Korea Selatan, Australia, atau bahkan Eropa.
Namun, protes tersebut ditolak. FIFA dan AFC menegaskan bahwa Ahmad Al Ali tetap ditunjuk sebagai wasit utama, dengan perangkat pertandingan lain termasuk asisten wasit dan VAR juga berasal dari Kuwait.
Memahami bagaimana pertandingan ini akan menjadi salah satu pertandingan berisiko merugikan Indonesia, berikut sejumlah potensi ketidakadilan yang mungkin terjadi;
Rekam Jejak Wasit Ahmad AL Ali
Ahmad Al Ali tercatat memimpin 56 pertandingan dengan total 188 kartu kuning dan 9 kartu merah. Rata-rata 3,3 kartu kuning per laga. Dalam sembilan laga Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia, ia mengeluarkan 25 kartu kuning dan satu kartu merah, data yang menunjukkan potensi penalti disipliner berlebih terhadap Indonesia sebagai tim tamu.
Potensi Bias VAR
Operator VAR yang ditunjuk dari orang-orang lokal berisiko memiliki kecenderungan untuk mendukung tuan rumah tanpa disadari. Latensi sinyal, koordinasi audio-visual, dan keputusan offside marginal juga dapat memunculkan kontroversi yang sulit diperdebatkan kembali.
Disparitas Penegakan Aturan
Studi kasus kartu kuning yang lebih banyak kepada tim tamu menunjukkan kecenderungan wasit menangani duel fisik secara berbeda. Pelanggaran ringan oleh pemain tuan rumah mungkin dibiarkan, sementara protes atau percepatan permainan dari Indonesia lebih cepat dihukum.
Selain tantangan-tantangan di atas, sisi logistik turut menambah kompleksitas ketidakadilan yang mungkin terjadi. Tim Indonesia menempuh perjalanan panjang, mengatur ulang ritme tidur, dan menyesuaikan diri dengan cuaca gurun yang terik bahkan saat malam hari.
Setelah tiba jauh dari rumah, jeda antara latihan dan waktu pertandingan terasa kian sempit ketika semua fasilitas penunjang lebih mudah diakses oleh pihak tuan rumah.
Saat kesetaraan penilaian menjadi fondasi integritas kompetisi, seluruh rangkaian faktor, mulai dari wasit, atmosfer stadion, logistik, hingga teknologi, menjadi cermin yang memantulkan potensi ketidakadilan di balik gemerlap laga kualifikasi ini.
Respons tak acuh federasi seperti FIFA dan AFC pada protes Indonesia pun mau tidak mau mendorong pandangan tersendiri para pendukung Timnas. Entah apakah ini semua ego penyelenggara yang yakin dengan fairness yang bisa mereka sajikan atau lobi-lobi sudah diamankan di level-level tinggi.
Tinggalkan Komentar
Komentar