periskop.id - Patriarki tidak selalu muncul dalam bentuk kekerasan atau perintah. Terkadang, patriarki hadir seperti pelukan hangat yang terlihat biasa saja, bahkan dianggap wajar. Padahal sebenarnya, hal itu bisa diam-diam membatasi ruang gerak perempuan. Budaya dan kebiasaan membuat pola ini sulit dilawan karena bukan aturan yang mengekang, melainkan pandangan masyarakat yang dianggap benar. 

Apa itu Patriarki?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), patriarki diartikan sebagai perilaku yang lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Sementara itu, menurut Bressler (2007), patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan tertinggi serta memberikan mereka dominasi dalam berbagai bidang seperti kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, hingga kepemilikan ekonomi.

“Budaya Patriarki dan Kesetaraan Gender (2023)” menyebutkan bahwa budaya patriarki telah terbentuk dan terpelihara melalui suatu kebudayan atau adat secara turun temurun dari zaman penjajahan dan berlanjut ke generasi-generasi. Sampai saat ini, budaya patriarki masih tetap ada dan berkembang di Indonesia, budaya tersebut terlihat dalam hampir segala aspek dan cakupan ruang lingkup.

Sistem ini menciptakan perbedaan yang tidak adil dalam hal pengalaman hidup, tanggung jawab, status sosial, dan kesempatan yang dimiliki keduanya. Akibatnya, banyak perempuan yang secara tidak sadar tumbuh dalam lingkungan yang membatasi potensi mereka atas nama “tradisi” atau “kodrat.”

Namun, patriarki masa kini tak selalu terlihat keras atau eksplisit. Ia tidak selalu hadir dalam bentuk larangan perempuan bekerja, berpendapat, atau berpendidikan. Patriarki kini bisa muncul dalam bentuk yang lebih lembut, terselubung, dan seolah-olah “alami.” 

Inilah yang disebut sebagai patriarki halus, yaitu saat ketimpangan gender dibungkus dengan bahasa yang sopan dan logika yang tampak masuk akal. Misalnya, perempuan sebaiknya di rumah karena kodratnya menjaga keluarga dan laki-laki harus jadi pemimpin karena itu sudah dari sananya.

Kodrat Biologis vs Peran Sosial dan Budaya

Dari sisi sosial dan budaya, sistem patriarki membentuk cara pandang masyarakat yang sering menempatkan perempuan sebagai sosok lemah, terlalu emosional, dan kurang rasional. Akibatnya, perempuan cenderung dianggap hanya pantas berperan pasif, sementara laki-laki dipandang sebagai pihak yang lebih kuat dan berkuasa.

Selain itu, masyarakat Indonesia sering kali digunakan sebagai pembenaran untuk menempatkan perempuan dalam peran tertentu, terutama di ranah domestik. Namun, tidak banyak yang benar-benar memahami bahwa kodrat biologis dan peran sosial budaya adalah dua hal yang sangat berbeda.

Kodrat biologis adalah hal-hal alami yang melekat pada tubuh perempuan dan tidak bisa diubah, seperti menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Semua itu merupakan bagian dari proses alamiah manusia. Menurut Nursyam (2020) dalam Jurnal Marwah: Jurnal Perempuan, Agama dan Jender UIN Sunan Ampel Surabaya, kodrat biologis seharusnya tidak dijadikan alasan untuk membatasi perempuan. Aspek biologis ini tidak berhubungan dengan kemampuan berpikir, bekerja, atau berperan aktif di masyarakat.

Sementara itu, dalam peran sosial, seperti memasak, mengurus anak, dan membersihkan rumah bukan kodrat, tetapi hasil dari konstruksi sosial dan budaya. Peran ini terbentuk dari proses panjang dalam masyarakat secara turun temurun yang menanamkan nilai “seharusnya” di rumah, sementara laki laki “seharusnya” bekerja di luar.

Masalah muncul ketika masyarakat mencampuradukkan antara dua hal tersebut. Banyak orang beranggapan bahwa mengurus rumah tangga adalah kodrat perempuan, padahal itu hanya peran sosial yang bisa dibicarakan dan dikerjakan bersama atau dibagi secara adil antara laki laki dan perempuan.

Cermin Patriarki di Kehidupan Sehari-hari

Bentuk-bentuk patriarki sering kali hadir begitu halus dalam rutinitas kita sampai terlihat seperti hal yang wajar. Pandangan seperti ini akhirnya melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan dan diskriminasi. 

Di rumah, pandangan seperti ini masih sering kita temui. Istri dianggap tugasnya melayani suami, bersih-bersih, dan mengurus rumah, sedangkan suami cukup fokus kerja atau cari nafkah. Anak perempuan biasanya diminta membantu pekerjaan rumah, sementara anak laki-laki boleh santai, belajar, atau istirahat. Dari kecil, perempuan diajari masak, beres-beres, dan menjaga adik, tapi anak laki-laki tak dituntut hal yang sama.

Selain itu, di dalam bermasyarakat juga tidak lepas dari pengaruh seperti munculnya stigma terhadap perempuan yang belum menikah di usia yang hampir 30 tahun dan langsung diberi label “perawan tua.” 

Patriarki juga terlihat dari cara berbicara dan menilai orang. Misalnya, ucapan seperti “perempuan baik-baik nggak pulang malam” atau “suami harus lebih sukses dari istri” menunjukkan kalau masih ada pandangan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Kalimat-kalimat seperti ini buat peran tradisional terus dianggap wajar dan membatasi perempuan lewat aturan moral yang tidak seimbang.

Di dunia kerja, cermin patriarki muncul dalam bentuk kesenjangan upah dan minimnya perempuan di posisi kepemimpinan. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2023) menunjukkan bahwa rata-rata upah perempuan di Indonesia masih sekitar 83% dari upah laki-laki untuk pekerjaan dengan kualifikasi setara. Selain itu, banyak perusahaan masih memandang status pernikahan dan kehamilan sebagai hambatan karier bagi perempuan.

Dalam dunia media dan budaya populer, pengaruh patriarki terlihat dari cara perempuan sering ditampilkan. Mereka biasanya digambarkan hanya sebagai pendamping, pelengkap, atau bahkan korban. Dilansir dari Remotivi, banyak sinetron dan iklan di Indonesia masih menampilkan perempuan sebagai sosok yang cantik, lembut, dan pasif, sedangkan laki-laki digambarkan kuat dan rasional. Gambaran seperti ini membuat stereotip semakin kuat dan membatasi pandangan masyarakat tentang peran yang bisa dijalani perempuan.

Patriarki juga terus ada karena sistem sosial dan lembaga publik masih banyak dikuasai laki-laki. Contohnya, di bidang politik dan hukum, perempuan masih jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan penting. Menurut data UN Women (2023), secara global, perempuan hanya menempati sekitar 26% kursi parlemen, di Indonesia angkanya hanya sekitar 22%. Menurut KPU, (2024), ketimpangan ini membuat banyak kebijakan lebih mencerminkan sudut pandang laki-laki, sementara kebutuhan perempuan sering terabaikan.

Mengapa Patriarki Bisa Terjadi?

Patriarki sebenarnya tidak muncul secara tiba-tiba, tapi terbentuk lewat sejarah, budaya, dan struktural sosial manusia. Sistem ini mengakar dalam cara kita membangun masyarakat, membagi peran , serta memandang hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Salah satu penyebab utama munculnya patriarki adalah cara orang memaknai perbedaan biologis. Karena perempuan bisa hamil, melahirkan, dan menyusui, mereka dianggap “kodratnya” untuk mengurus rumah dan anak, sedangkan laki-laki yang dinilai lebih kuat secara fisik dipandang lebih cocok bekerja di luar rumah dan memimpin. 

Selain itu, sistem ekonomi dan politik juga ikut memperkuat ketimpangan ini dengan memberi lebih banyak kesempatan bagi laki-laki untuk berpendidikan, bekerja, dan mengambil keputusan penting. Akhirnya, pola pikir patriarki ini terus diwariskan turun-temurun sehingga dianggap biasa dalam kehidupan sehari-hari.