Periskop.id - Keberadaan ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menjadi sorotan, namun kali ini melalui lensa hukum kearsipan. Dokumen yang digunakan dalam berbagai kontestasi politik, mulai dari Pemilihan Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga Presiden RI dua periode, diduga hingga kini belum diarsipkan di Lembaga Kearsipan Daerah maupun Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).

Jika dugaan ini benar dan terjadi secara sengaja, pihak-pihak terkait, termasuk lembaga penyelenggara pemilu (KPU) dan lembaga kearsipan, berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan.

Mengapa Ijazah Pejabat Penting Harus Diarsipkan?

Sesuai Undang-Undang Kearsipan, dokumen penting terkait proses politik, seperti ijazah dan dokumen pencalonan pejabat publik yang terpilih, dikategorikan sebagai arsip statis. Arsip statis adalah arsip yang memiliki nilai guna kesejarahan yang tidak disusutkan dan wajib diserahkan ke Lembaga Kearsipan (ANRI atau Lembaga Kearsipan Daerah) setelah melalui proses pemindahan arsip inaktif.

Pasal 55 UU Kearsipan secara eksplisit menyinggung proses penyerahan ini.

"Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahan arsip inaktif, pemusnahan arsip yang tidak bernilai guna, dan penyerahan arsip statis, serta ketentuan mengenai JRA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 53 diatur dengan peraturan pemerintah," isi Pasal tersebut.

Kewajiban penyerahan ini bertujuan memastikan bahwa dokumentasi sejarah politik dan administrasi negara terlindungi, aman, dan dapat diakses untuk kepentingan publik di masa depan.

Ancaman Pidana bagi Lembaga yang Lalai atau Melanggar Prosedur

Kelalaian atau kesengajaan dalam mengelola arsip negara dapat memicu sanksi pidana yang diatur dalam UU Kearsipan.

Jika dokumen ijazah tersebut tidak dijaga keutuhan dan keselamatannya sebagai arsip negara, misalnya, jika dokumen hilang atau rusak sebelum diserahkan ke ANRI, pihak yang bertanggung jawab dapat dijerat Pasal 83:

Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja tidak menjaga keutuhan, keamanan dan keselamatan arsip negara yang terjaga untuk kepentingan negara dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp25 juta.

Kasus terberat terjadi apabila dokumen penting, yang seharusnya menjadi arsip statis, sengaja dimusnahkan oleh pihak yang berwenang, seperti KPU atau Dinas Kearsipan setempat, tanpa melalui prosedur resmi dan tanpa persetujuan ANRI.

Pasal 86 menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memusnahkan arsip di luar prosedur yang benar dipidana dengan pidana penjara paling lama 10  tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.