periskop.id - Kuasa hukum Bonatua Silalahi, Abdul Gafur Sangadji, resmi melaporkan dugaan tindak pidana kearsipan ke Bareskrim Polri. Laporan ini berkaitan dengan dokumen ijazah Presiden Indonesia ke-7, Joko Widodo, yang menurut pihak pelapor hingga kini belum terarsipkan secara resmi.
Abdul menegaskan, polemik mengenai ijazah Jokowi sudah muncul sejak pencalonannya sebagai Wali Kota Solo, kemudian Gubernur DKI Jakarta, hingga Presiden.
“Hari ini yang kami buka laporan di Bareskrim Polri itu terkait dugaan tindak pidana kearsipan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan,” ujarnya di depan Bareskrim, Jumat (7/11).
Dalam laporan tersebut, pihak Bonatua menyoroti sejumlah lembaga yang dianggap bertanggung jawab. Di antaranya KPU RI, KPU DKI Jakarta, KPU Kota Solo, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), serta dinas kearsipan di Jakarta dan Surakarta pada periode tertentu.
Abdul menjelaskan, ada empat pasal yang dijadikan dasar laporan, yakni Pasal 83 dan 86 UU Kearsipan, serta Pasal 55-56 KUHP tentang penyertaan tindak pidana.
“Materi pokoknya adalah mengungkap keberadaan ijazah Pak Joko Widodo yang sampai hari ini belum diarsipkan di dalam Lembaga Kearsipan Daerah maupun ANRI,” tegasnya.
Menurut Abdul, dokumen kepala daerah maupun presiden seharusnya diarsipkan setelah melewati masa lebih dari lima tahun. “Karena arsip itu adalah bagian dari identitas bangsa Indonesia. Arsip itu adalah potret perjalanan sejarah bangsa,” katanya.
Ia menambahkan, hingga kini ijazah Jokowi tidak ditemukan dalam arsip resmi, padahal Jokowi telah memenangkan Pilkada DKI Jakarta dan Pilpres. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai peran lembaga kearsipan dan KPU.
“Kami tidak berbicara tentang keaslian ijazah atau palsu. Tapi yang kami bicarakan adalah kewajiban lembaga-lembaga kearsipan. Kenapa sampai hari ini keberadaan ijazah itu belum terungkap,” ujar Abdul.
Abdul menilai kondisi ini semakin memperkuat kesan misterius terkait dokumen tersebut. Bahkan, menurutnya, penelitian atas ijazah Jokowi bisa menimbulkan risiko hukum bagi peneliti.
“Itu tentu misterius dari sisi keberadaannya sehingga ini akan menjadi tantangan hukum baru,” ucapnya.
Bonatua Silalahi sendiri adalah peneliti yang karyanya telah masuk jurnal internasional. Ia mengaku kecewa dengan jawaban lembaga-lembaga negara ketika dimintai transparansi soal ijazah Jokowi.
Dalam keterangannya, Bonatua menegaskan bahwa ia membutuhkan salinan ijazah Jokowi untuk kepentingan penelitian.
“Untuk mendapatkan dokumen autentik ya dari fotokopi yang terlegalisir. Artinya autentik itu kalau dia di dalam Undang-Undang Kearsipan, autentik itu adalah copyan atau dokumen yang sudah dibandingkan dengan aslinya,” jelasnya.
Namun, Bonatua menemukan bahwa KPU tidak pernah melakukan penyandingan antara dokumen asli dan fotokopi.
“Kalau ada ijazah difotokopi lalu dilegalisir, KPU hanya mengecek legalisir, tidak pernah menyandingkan dengan aslinya,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti ketiadaan berita acara verifikasi dan klarifikasi atas dokumen tersebut.
Lebih jauh, Bonatua mengaku sempat menghadapi intervensi dari delapan kementerian atau lembaga ketika mengajukan permintaan dokumen.
“Delapannya menolak, silakan mengertikan sendiri. Seharusnya kan jangan kompak dong delapannya,” katanya.
Ia berharap Bareskrim dapat menyelidiki laporan ini agar penelitian yang ia lakukan memiliki data yang tervalidasi secara hukum dan teknis.
Pihak Bonatua melaporkan beberapa pihak terkait dugaan ini, yaitu Komisioner atau Sekretaris Jenderal KPU RI (2014-2024), Komisioner atau Sekretaris KPU DKI Jakarta (2012 dan 2017), Kepala Arsip Negara Republik Indonesia (2012 dan 2024), Pejabat Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Pemprov Jakarta (2012 dan 2017), Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Pemkot Surakarta (2005-2015), dan Komisioner dan Sekretaris KPU Kota Solo (2005 dan 2010).
Tinggalkan Komentar
Komentar