periskop.id - Analis dan Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Muhammad Nidhal menilai penutupan fitur siaran langsung (live) di TikTok dan pemanggilan sejumlah platform media sosial oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) merupakan cerminan dari ambiguitas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 5 Tahun 2020.
Menurutnya, peraturan tersebut memunculkan ketidakpastian hukum yang mendorong platform mengambil langkah ekstrem hingga berisiko melakukan moderasi konten yang berlebihan.
“Pilihan untuk menutup fitur ini tidak lepas dari ketidakpastian yang ditimbulkan oleh peraturan ini. Untuk itu, Permenkominfo Nomor 5 tahun 2020 perlu direvisi karena memunculkan ketidakpastian hukum,” ujar Nidhal dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (2/9).
Sejak unjuk rasa untuk mengkritisi DPR memanas pada 25 Agustus lalu, fitur siaran langsung di platform TikTok tidak dapat diakses. Hal ini menghalangi peserta aksi massa untuk menyiarkan situasi terkini dari berbagai kota di Indonesia.
Fenomena ini terjadi setelah Komdigi memanggil perwakilan TikTok dan Meta terkait konten demonstrasi.
Nidhal berpendapat, tekanan dari pemerintah membuat platform cenderung "bermain aman" dengan membatasi ruang publik secara berlebihan.
Ia menambahkan, ketidakjelasan definisi “konten terlarang” dalam peraturan tersebut juga berdampak pada kegiatan ekonomi, khususnya bagi para pelaku UMKM yang mengandalkan fitur siaran langsung untuk memasarkan produk mereka.
“Ketidakjelasan ini dapat memicu keengganan bagi warganet atau pengguna platform dan juga platform untuk bermain aman dengan membatasi ruang publik secara berlebihan dan untuk menyebarkan informasi dan mengekspresikan pendapat mereka,” jelasnya.
Rekomendasi CIPS
Untuk itu, CIPS merekomendasikan revisi Permenkominfo 5/2020 dengan beberapa poin utama.
Pertama, memperjelas definisi “konten terlarang” agar hanya menyasar konten yang benar-benar ilegal seperti pornografi dan terorisme, bukan kritik politik atau satire.
Kedua, memastikan adanya mekanisme akuntabilitas dan proses banding yang transparan bagi pengguna yang kontennya dihapus.
“Pendekatan 'pukul rata' dengan menghapus konten tidak akan menciptakan ruang digital yang sehat. Yang kita butuhkan adalah kerangka regulasi yang jelas, transparan, dan demokratis,” tegas Nidhal.
Tinggalkan Komentar
Komentar