periskop.id - Nilai tukar rupiah kembali ditutup melemah pada perdagangan Selasa (4/11), seiring dengan penguatan dolar AS di tengah ketidakpastian arah kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) dan meningkatnya tensi geopolitik global. Berdasarkan data pasar, rupiah ditutup turun 32 poin ke level Rp16.708 per dolar AS, setelah sebelumnya sempat melemah hingga 65 poin dari posisi penutupan sebelumnya di Rp16.676 per dolar AS.

Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, mengatakan pergerakan rupiah hari ini tidak lepas dari dominasi sentimen eksternal, terutama setelah Ketua The Federal Reserve, Jerome Powell, memberi sinyal bahwa langkah pelonggaran kebijakan moneter belum akan dilakukan dalam waktu dekat.

“Powell mengisyaratkan bahwa bank sentral belum berkomitmen untuk pelonggaran lebih lanjut, dengan mengatakan bahwa langkah pada bulan Desember bukanlah sesuatu yang pasti,” ujar Ibrahim dalam riset harian yang diterima pada Selasa (4/11).

Menurut dia, pernyataan Powell membuat pelaku pasar menurunkan ekspektasi terhadap penurunan suku bunga dalam waktu dekat. Kondisi tersebut memperkuat posisi dolar AS di pasar global, sehingga menekan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.

“Pasar kini kembali berhati-hati. Ketidakpastian arah kebijakan moneter membuat investor cenderung berpindah ke aset safe haven seperti dolar,” jelas Ibrahim.

Selain itu, perbedaan pandangan di antara pejabat The Fed juga memperkeruh sentimen pasar. Beberapa pembuat kebijakan menilai perlunya kewaspadaan terhadap risiko inflasi, sementara sebagian lainnya menyoroti tanda-tanda pelemahan pasar tenaga kerja AS.

“Perpecahan pandangan ini memperkuat keraguan tentang seberapa cepat The Fed akan melanjutkan pemotongan suku bunga, dan pada akhirnya menjaga dolar tetap kuat,” ujar Ibrahim.

Dari sisi geopolitik, Ibrahim menyoroti meningkatnya ketegangan antara AS dan Tiongkok terkait ekspor teknologi. Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa chip Blackwell tercanggih milik Nvidia akan dicadangkan hanya untuk penggunaan domestik.

“Pernyataan tersebut memicu kekhawatiran baru atas rantai pasokan global dan prospek pertumbuhan ekonomi Tiongkok, yang secara tidak langsung menekan aset berisiko di kawasan Asia,” tambahnya.

Sementara dari dalam negeri, pasar tengah mencermati rilis data inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi Oktober 2025 sebesar 0,28% secara bulanan (month-to-month), naik dari 0,21% pada September 2025. Secara tahunan, inflasi mencapai 2,86% (year-on-year), dengan kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya sebagai penyumbang terbesar.

“Kenaikan harga emas perhiasan menjadi faktor dominan yang mendorong inflasi bulan ini,” kata Ibrahim.

Ia juga menambahkan bahwa pelaku pasar akan menunggu rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal III/2025 pada Rabu (5/11). Konsensus memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 5% yoy, sejalan dengan perkiraan pemerintah.  Apabila data pertumbuhan ekonomi lebih rendah dari ekspektasi, maka tekanan terhadap rupiah bisa berlanjut.

Untuk perdagangan besok, Ibrahim memperkirakan rupiah akan bergerak fluktuatif namun cenderung melemah, dengan kisaran di antara Rp16.700 hingga Rp16.750 per dolar AS. “Tekanan eksternal masih cukup kuat, sementara dukungan dari faktor domestik relatif terbatas. Pasar akan sangat sensitif terhadap arah kebijakan The Fed dan data ekonomi global,” tutupnya.