periskop.id - Harga emas dunia dan logam mulia diperkirakan bergerak fluktuatif sepanjang pekan ini. Pergerakan tersebut dipicu oleh beberapa faktor, mulai dari dinamika politik Amerika Serikat, spekulasi kebijakan bank sentral, hingga meningkatnya tensi geopolitik global.

Pengamat Ekonomi, Mata Uang & Komoditas, Ibrahim Assuaibi, menyebut level support berada di Rp3.972.000 dan resistance di Rp4.180.000. Berdasarkan perkiraan terbarunya, ia menambahkan bahwa harga emas hingga akhir tahun berpotensi berada di kisaran Rp4.380.000, sementara logam mulia diperkirakan mendekati Rp2.600.000.

Pada penutupan Sabtu pagi, harga emas dunia tercatat di Rp4.065.000 per troy ounce, sedangkan logam mulia berada di Rp2.346.000. Ibrahim menjelaskan, jika pada perdagangan Senin terjadi koreksi menuju support pertama, emas dunia berpotensi turun ke Rp4.015.000 per troy ounce, sementara logam mulia dapat melemah ke Rp2.320.000.

“Sebaliknya, bila harga menguat, resistance pertama emas diperkirakan berada di Rp4.129.000 per troy ounce, dan logam mulia berpotensi naik ke Rp2.370.000,” ujarnya.

Untuk proyeksi sepekan, Ibrahim memperkirakan peluang pelemahan harga emas hingga Rp3.972.000 per troy ounce, sementara logam mulia dapat terkoreksi ke Rp2.290.000. Namun jika penguatan terjadi selama lima hari perdagangan, resistance kedua emas berada di Rp4.180.000 per troy ounce, dengan potensi logam mulia mencapai Rp2.450.000. Ia menambahkan, proyeksi harga ini sangat terkait dengan pergerakan nilai tukar rupiah.

“Melihat rupiah yang kemungkinan besar masih akan melemah, ya targetnya di minggu depan itu di Rp16.700 sampai Rp16.790. Jadi ada kemungkinan menyentuh level Rp16.800,” jelasnya.

Kondisi tersebut, kata Ibrahim, turut memengaruhi estimasi logam mulia di level resistance kedua Rp2.450.000. Menurutnya, ada tiga faktor utama yang menjaga fluktuasi harga emas, yaitu dinamika politik AS, spekulasi kebijakan The Fed, dan situasi geopolitik.

Ibrahim menjelaskan bahwa setelah masa libur panjang selama 43 hari, pemerintahan federal Amerika kembali beroperasi. Pada Kamis dan Jumat, data tenaga kerja September dirilis dan menunjukkan kenaikan, yang ikut mendorong penguatan indeks dolar.

Ia juga menyoroti respons sejumlah pejabat The Fed seperti Pat Harker, Lorie Logan, Susan Collins, dan John Williams. Menurut Ibrahim, Lorie Logan yang merupakan Presiden The Fed Dallas menilai suku bunga sebaiknya tetap dipertahankan.

Sementara itu, Susan Collins masih ragu apakah pemangkasan suku bunga perlu dilakukan bulan depan. Adapun John Williams menyatakan bahwa bank sentral bisa saja menurunkan suku bunga dalam waktu dekat tanpa mengganggu target inflasi.

Ibrahim menegaskan bahwa sensitivitas The Fed terhadap data ekonomi masih tinggi, terutama karena data Oktober akan mencerminkan masa libur federal selama 43 hari.

“Sehingga di bulan November, Desember nanti barulah akan kelihatan data tenaga kerja menurun, pengangguran juga bertambah dan bank sentral akan kembali membahas tentang penurunan suku bunga di bulan Desember,” paparnya.

Dari sisi geopolitik, ia menyebut adanya tekanan baru setelah Donald Trump mengancam Ukraina agar menerima proposal gencatan senjata yang disusun Gedung Putih.

“Kalau menerima proposal yang diberikan oleh Trump, ini banyak wilayah-wilayah yang tidak akan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, terutama di Ukraina. Namun jika ditolak, wilayah Ukraina yang dikuasai oleh Rusia kemungkinan besar akan terus bertambah,” ujar Ibrahim.

Situasi ini, menurutnya, membuat tensi geopolitik semakin panas, terutama karena pasokan senjata dari NATO dan AS yang masih terus berlanjut.