periskop.id - Harga minyak dunia ditutup turun lebih dari 1% pada Selasa (Rabu waktu Jakarta), setelah Ukraina memberi sinyal bahwa dorongan diplomatik intensif dari pemerintahan Amerika Serikat untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina mulai menunjukkan perkembangan positif.

Jika perang berakhir, negara-negara Barat berpotensi mencabut sanksi terhadap perdagangan energi Rusia. Hal ini dapat membuka keran pasokan baru di saat harga komoditas sudah tertekan oleh kekhawatiran kelebihan suplai pada tahun depan.

Melansir Reuters, Rabu (26/11), Brent crude turun 89 sen atau 1,4% menjadi US$62,48 per barel, sementara WTI juga turun 89 sen atau 1,5% menjadi US$57,95 per barel. Keduanya sempat menyentuh level terendah sejak 22 Oktober dalam perdagangan intraday.

Kepala Keamanan Nasional Ukraina, Rustem Umerov, mengatakan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy kemungkinan akan mengunjungi AS dalam beberapa hari ke depan untuk memfinalisasi kesepakatan dengan Presiden AS Donald Trump guna mengakhiri perang.

Namun, Rusia menegaskan tidak akan menyetujui kesepakatan yang terlalu jauh dari tujuan mereka. Sikap ini, menurut analis minyak Onyx Capital Group, Ed Hayden-Briffett, sedikit membatasi penurunan harga minyak karena menimbulkan keraguan apakah kesepakatan resmi benar-benar dapat tercapai.

Ketidakpastian itu makin terlihat setelah Rusia kembali meluncurkan serangan rudal ke Kyiv pada Selasa, menewaskan enam orang, melukai 13 lainnya, serta mengganggu sistem listrik dan pemanas kota.

“Perlu dua pihak untuk bekerja sama, dan hingga kini belum jelas apakah Rusia setuju juga,” kata analis UBS, Giovanni Staunovo.

Firma perdagangan minyak Ritterbusch and Associates mengingatkan bahwa bagian tersulit dari negosiasi damai justru masih di depan, karena masih ada perbedaan besar yang harus disatukan oleh kedua pihak.

Sementara, semakin banyak analis memperkirakan bahwa pertumbuhan suplai minyak mentah pada 2026 akan melampaui kenaikan permintaan. Deutsche Bank bahkan memperkirakan surplus minimal 2 juta barel per hari pada tahun depan dan belum melihat peluang defisit kembali hingga setidaknya 2027.

Menurut analis Commerzbank Research, jika tercapai kesepakatan damai, Rusia berpotensi meningkatkan produksi minyak hingga sesuai kuota OPEC+.

Sanksi Barat terhadap raksasa minyak Rusia seperti Rosneft dan Lukoil, serta larangan menjual produk minyak yang diolah dari minyak mentah Rusia ke Eropa, membuat beberapa kilang India mengurangi pembelian mereka. Akibatnya, ekspor minyak Rusia menurun dan jumlah minyak yang disimpan di tanker laut meningkat.

Commerzbank mencatat bahwa minyak yang kini tersimpan di laut tersebut bisa kembali masuk pasar jika sanksi terhadap Rosneft dan Lukoil dicabut melalui perjanjian damai. Selain itu, Rusia juga tengah berdiskusi untuk memperluas ekspor minyak ke Tiongkok, kata Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak pada Selasa.

Berdasarkan data American Petroleum Institute (API) yang dikutip sumber pasar pada Selasa, stok minyak mentah AS turun pekan lalu, sementara persediaan bahan bakar naik. Sebelumnya, survei Reuters memperkirakan persediaan minyak AS justru naik 1,86 juta barel pada pekan yang berakhir 21 November. Data resmi dari Energy Information Administration (EIA) akan dirilis pada Rabu pukul 10:30 a.m. ET (15:30 GMT).