periskop.id - China kini berdiri sebagai pemimpin global dalam energi surya. Dengan kapasitas terpasang hampir setengah dari total dunia, negeri itu menjadikan panel surya bukan sekadar teknologi, melainkan strategi nasional menghadapi krisis iklim.
Pemerintah China melihat perubahan iklim sebagai ancaman serius terhadap stabilitas sosial dan ekonomi. Namun, mereka juga menilainya sebagai peluang besar untuk menguasai teknologi energi masa depan. Hasilnya terlihat nyata: biaya listrik tenaga surya turun drastis hingga rata-rata global hanya sekitar US$0,04 per kWh menjadikannya sumber energi termurah dalam sejarah modern.
Keberhasilan ini tidak selalu disambut hangat. Amerika Serikat dan Uni Eropa menuding ekspansi industri surya China sebagai bentuk “persaingan tidak adil” yang merugikan produsen lokal.
Mengutip Current Affairs, pada 2024, Janet Yellen, Menteri Keuangan AS saat itu, menyampaikan kritik keras di sebuah pabrik surya yang telah tutup di Georgia. Ia menilai banjir impor murah dari China menghancurkan industri domestik.
Eropa pun mengambil langkah serupa dengan menyelidiki dugaan subsidi besar-besaran yang digunakan China untuk memenangkan proyek energi di Rumania. Namun, fokus pada isu kompetisi pasar justru mengaburkan urgensi krisis iklim.
Padahal, sejarah menunjukkan bahwa Jerman pernah menjadi pionir industri energi surya pada akhir 1990-an. Kombinasi riset, kewirausahaan, dan subsidi melahirkan industri fotovoltaik yang sempat menguasai 20% pasar dunia.
Sayangnya, pemotongan insentif pada 2012 membuat industri Jerman runtuh di bawah tekanan produk murah dari Asia. Kini, meski masih memasang panel dalam jumlah besar, 95% di antaranya berasal dari China.
Sementara itu, Amerika Serikat terjebak dalam tarik-menarik politik. Di bawah pemerintahan berbeda, arah kebijakan energi kerap berubah. Dari dorongan hidrogen lewat IRA hingga penghentian subsidi energi terbarukan.
Uni Eropa mencoba mengandalkan mekanisme pasar karbon melalui EU-ETS. Namun harga karbon yang fluktuatif dan jauh di bawah estimasi biaya sosial emisi membuat investor ragu menanamkan modal jangka panjang.
Per Maret 2025, China sudah memiliki kapasitas energi surya sedikitnya 900 gigawatt (GW), angka ini menjadikan China pemilik hampir setengah kapasitas energi surya di dunia.
Kesimpulannya, China berhasil karena memadukan visi teknokratis, investasi besar, dan keberanian mengambil risiko. Sementara Barat masih sibuk berdebat soal “keadilan pasar,” China sudah menjual energi termurah di dunia.
Pertanyaannya kini: apakah dunia siap menerima kenyataan bahwa masa depan surya dibangun di Beijing, bukan di Washington atau Berlin?
Tinggalkan Komentar
Komentar