Periskop.id – Bantahan BCA soal dugaan rekayasa dalam akuisisi 51% saham BCA pada tahun 2002, serta klarifikasi Menteri Investasi sekaligus CEO Danantara Rosan Roeslani yang menepis isu rencana akuisisi BCA oleh Danantara, dinilai bsia jadi momentum untuk membereskan masalah lama yang belum selesai. Ketua Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN), Sasmito Hadinagoro menyebut, skandal BLBI dan proses pembelian BCA oleh swasta hingga kini masih menyisakan tanda tanya besar.
Ia menilai, kasus BCA tidak bisa dilepaskan dari rangkaian kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada akhir 1990-an. Menurutnya, pada tahun 2002 nilai riil BCA diperkirakan mencapai Rp117 triliun, sementara kewajiban negara yang dicatat hanya sekitar Rp60 triliun, dengan skema cicilan Rp7 triliun per tahun.
“Mengapa negara harus melepas BCA dengan harga murah pasca bailout? Sejatinya negara berhak mempertahankan minimal 51% saham tanpa mengeluarkan biaya tambahan,” ucap Sasmito dalam keterangannya, Rabu (20/8).
Ia menambahkan, proses pembelian BCA oleh swasta setelah bailout, bukan hanya merugikan fiskal negara, tetapi juga merampas hak rakyat atas aset strategis yang seharusnya dikuasai negara.
Sebelumnya, Rosan dalam keterangannya memang menegaskan, kabar akuisisi BCA oleh Danantara tidak benar, dan berharap isu tersebut tidak menimbulkan spekulasi liar di pasar. Namun, bagi Sasmito, klarifikasi itu tidak cukup untuk menutup perdebatan publik.
“Menepis isu bukan berarti menyembuhkan luka lama. Yang rakyat butuhkan adalah investigasi transparan atas proses bailout dan pembelian BCA. Tanpa itu, keadilan fiskal hanya akan jadi jargon,” ujarnya.
LPEKN, kata Sasmito, menegaskan, dana bailout sejatinya bersumber dari pajak rakyat, yang menjadi tulang punggung APBN. Pajak yang dipungut dengan susah payah seharusnya diposisikan sebagai equity negara atau penyertaan modal pemerintah, bukan sekadar utang yang kemudian dialihkan untuk kepentingan swasta.
“Pajak itu modal negara. Maka hasilnya wajib kembali ke rakyat, bukan jadi bancakan segelintir elite,” tegas Sasmito.
Revolusi Keuangan Negara
Dengan kondisi ini, LPEKN pun, kata Sasmito, mendesak pemerintah melakukan Revolusi Keuangan Negara dengan tiga langkah strategis:
1. Investigasi ulang proses bailout dan pembelian BCA, termasuk siapa saja yang diuntungkan.
2. Reformasi fiskal dan transparansi penggunaan pajak rakyat, agar APBN benar-benar berpihak pada rakyat.
3. Reposisi aset strategis, dengan mengembalikan kendali BCA dan aset BLBI ke pangkuan negara.
Sasmito bahkan mengusulkan Presiden Prabowo Subianto membentuk tim khusus pemberantasan mafia keuangan negara, dan menyatakan kesediaannya memimpin upaya itu demi kedaulatan ekonomi. Menurutnya, polemik BLBI–BCA tetap menjadi luka yang belum sembuh.
Selama investigasi menyeluruh tidak dilakukan, sambungnya, kepercayaan publik terhadap pengelolaan keuangan negara akan terus melemah. “Revolusi Keuangan Negara bukan sekadar slogan. Ini adalah kebutuhan mendesak untuk mengembalikan kedaulatan ekonomi bangsa,” pungkas Sasmito.
Bantahan BCA
Sementara itu, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) membantah isu adanya dugaan rekayasa dalam akuisisi 51% saham BCA pada tahun 2002 yang sempat marak belakangan ini. Manajemen BCA pun memberikan klarifikasi resmi kepada Bursa Efek Indonesia (BEI), terkait pemberitaan media tersebut.
Corporate Secretary BCA I Ketut Alam Wangsawijaya dalam keterangannya, Rabu (20/8) menuturkan, informasi yang menyebutkan pembelian 51% saham BCA dengan nilai hanya sekitar Rp5 triliun diduga melanggar hukum karena nilai pasar saat itu sekitar Rp117 triliun, merupakan informasi yang tidak benar.
“Angka Rp117 triliun yang sering disebut dalam narasi merujuk pada total aset BCA, bukan nilai pasar perusahaan,” ucapnya.
Ia menjelaskan, nilai pasar ditentukan oleh harga saham Perusahaan di bursa efek dikalikan dengan total jumlah saham yang beredar. Menurutnya, seiring BCA yang sudah melaksanakan Initial Public Offering (IPO) pada tahun 2000, maka harga saham BCA terbentuk berdasarkan mekanisme pasar.
“Ia melanjutkan, pada proses strategic private placement dilakukan, nilai pasar BCA berdasarkan harga saham rata-rata di Bursa Efek Indonesia Adalah sekitar Rp10 triliun. Angka inilah yang menjadi acuan valuasi saat transaksi berlangsung, bukan sekitar Rp117 triliun,” tuturnya.
Dengan demikian, lanjutnya, nilai akusisi 51% saham oleh konsorsium Farindo yang menang melaui tender, merupakan cerminan dari kondisi pasar saat itu. “Tender dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) secara transparan dan akuntabel,” ujar Ketut.
Selanjutnya, Ketut juga membantah informasi soal BCA yang memiliki utang kepada negara Rp60 triliunyang diangsur Rp7 triliun tiap tahunnya. “ Di dalam neraca, BCA tercatat memiliki aset obligasi pemerintah senilai Rp60 triliun dan seluruhnya telah selesai pada tahun 2009, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” imbuhnya.
Untuk diketahui, klarifikasi BCA ini dilakukan untuk menjawab permintaan BEI yang menindaklanjuti pemberitaan media pada 18 Agustus 2025 mengenai rencana DPR membuka kembali kasus akuisisi saham BCA, berdasarkan temuan Panitia Khusus DPD.
Tinggalkan Komentar
Komentar