Periskop.id - Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan penjualan Bank Central Asia (BCA) pasca krisis moneter 1998, harus diakui menjadi salah satu bab penting dalam sejarah ekonomi-politik Indonesia. Persoalan ini tidak hanya menyangkut masalah teknis finansial, tetapi juga menyentuh aspek keadilan, transparansi, dan kedaulatan ekonomi bangsa.
Ketua Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN) Sasmito Hadinagoro sendiri menyebut, suaranya senada dengan suara Kwik Kian Gie, mantan Menko Perekonomian yang juga lantang mengkritik persoalan ini.
Penolakan SKL
Sasmito bercerita, Kwik Kian Gie menolak dengan tegas penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemilik saham lama BCA. Menurutnya, SKL adalah instrumen yang merugikan negara karena menghapus kewajiban besar bank penerima BLBI tanpa pertanggungjawaban yang sepadan.
“Bagaimana mungkin utang negara yang begitu besar bisa dianggap lunas hanya dengan mekanisme administratif. Sementara kerugian rakyat tidak dikompensasi sama sekali sebagai Pemilik Saham Pemerintah 93%, hasil pembayaran Utang fasilitas BLBI Gate Rp33 triliun dari obligor Anthony Salim,” tutur Sasmito dalam keterangannya yang diterima, Sabtu (23/8).
Asal tahu saja, imbuh Sasmito, fasilitas kredit dari BCA Rp53 triliun masih tercatat dalam BCA sebagai utang pribadi Anthony Salim yang belum dilunasinya. “Di samping itu, masih tercatat Obligasi Rekapitalisasi Pemerintah eks BLBI yang ditempatkan pula dalam Buku BCA Rp60 triliun dan membuahkan pula subsidi bunga obligasi rekap pemerintah eks BLBI tersebut Rp7 triliun pertahun yang diberikan setiap kuartalan oleh Menkeu kepada BCA,” tuturnya.
Kata Sasmito, demikianlah kritik Kwik yang sempat berdebat panas dalam rapat kabinet terbatas kala itu. Sasmito mengaku, Kwik bercerita kepadanya, harus dengan berat hati menyetujui penjualan 51% saham BCA dengan harga sekitar Rp5 triliun. “Dengan syarat, obligasi rekapitalisasi puluhan triliun yang masih ada dalam buku BCA harus dikeluarkan dulu dari buku laporan keuangan BCA,” tuturnya.
Tetapi apa lacur, lanjut Sasmito, dalam rapat tiga jam yang dipimpin Menko Kesra Yusuf Kala tahun 2003 tersebut, ketiga menteri ekonomi Presiden Megawati mengabaikan permintaan Kwik yang sempat berteriak histeris. Sampai-sampai, SBY yang saat itu menjabat sebagai Menko Polhukam Kabinet Megawati menepuk pundak Kwik sambil berkata untuk sabar saja.
Menurutnya, ini fakta sejarah kelam, terjadi rekayasa, konspirasi gelap dan ketiga orang yang patut diduga memang sudah berkolusi dengan pemilik saham Farallon/ Farindo dan oknum di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). “BPPN jelas punya conflict of interest dengan adanya rencana penjualan 51% saham BCA tersebut ke pemegang saham pengendali baru BCA,” tegasnya.
Sikap ini, ucap Sasmito, konsisten dengan pandangan, bahwa BLBI harus ditagih dan diselesaikan dengan cara yang adil. “Bukan dihapuskan begitu saja,” ucapnya.
Rapat di Teuku Umar
Ia kembali menyatakan, rapat di kediaman Megawati di jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat dan masalah tata kelola keuangan negara yang tidak akuntabel, sesungguhnya berhak diketahui masyarakat.
“Salah satu kritik keras Kwik adalah fakta bahwa pembahasan krusial mengenai penjualan BCA dilakukan di luar forum resmi kabinet. Beberapa rapat bahkan disebutkan berlangsung di kediaman Presiden Megawati Soekarnoputri, bukan dalam sidang kabinet,” jelas Sasmito.
Kwik, sambung Sasmito, menilai, praktik ini melanggar prinsip tata kelola yang baik. Pasalnya, keputusan penting terkait aset negara seharusnya dibicarakan secara transparan dan resmi. “Bagi Kwik, forum privat justru membuka ruang conflict of interest dan mengikis legitimasi kebijakan,” serunya.
Kwik bersikukuh, penjualan 51% saham BCA kepada konsorsium Farallon Capital Partners pada periode 2002–2003 dengan nilai Rp5,3 triliun dianggap sangat merugikan negara. Padahal, pada saat itu kondisi keuangan BCA sudah stabil dengan aset ratusan triliun rupiah.
Ia memperkirakan, potensi kerugian negara mencapai puluhan triliun rupiah akibat undervaluasi harga penjualan ini. “BCA sudah kembali sehat, tapi dilepas dengan harga yang tidak mencerminkan nilai sebenarnya,” tegas Kwik seperti diceritakan kembali oleh Sasmito.
Tender Tak Transparan
Kwik, kata sasmito, juga menyoroti masalah transparansi tender. Proses penjualan saham BCA dinilai tidak menunjukkan kompetisi yang sehat.
Bahkan, Sasmito bercerita, pimpinan ABN AMRO ditanyai oleh Kwik, soal keengganannya ikut tender tertutup dan bersaing dengan Farallon dan Standard Charter Bank untuk mengakusisi BCA, hanya menjawab sambil tertawa.
"Kami ABN AMRO Bank tidak mau ikut ‘merampok’ obligasi rekapitalisasi pemerintah puluhan triliun di dalam Buku BCA yang anda ketahui, Kwik," jawab pimpinan ABN ke Kwik, seperti diceritakan kembali Sasmito.
Menurut penjelasan pimpinan ABN Amro Bank, seperti diutarakan Kwik ke Sasmito, mekanisme terbatas dan tertutup ini jelas tidak menguntungkan negara. Bahkan memunculkan kecurigaan adanya kepentingan kelompok tertentu dalam akuisisi BCA.
“Jadi, jika tender dilakukan secara terbuka, harga jual dipastikan akan jauh lebih tinggi dan sesuai dengan nilai pasar,” cetus Sasmito.
Senapas dan Sejalan
Sasmito pun yakin, apa yang dikemukakan Kwik Kian Gie senapas dan sejalan dengan opini yang ia perjuangankan selama ini. Ia menegaskan, perjuangan membongkar BLBI dan BCA Gate bukan sekadar agenda jangka panjang, melainkan perjuangan istiqomah dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Melalui berbagai forum, aksi demonstrasi, termasuk di BCA Tower bersama Sekjen Gerakan HMS Hardjuno Wiwoho dan tokoh militer purnawirawan Jendral Syamsu Jalal ex Dan Puspom ABRI, Jamintel Kejagung RI, Sasmito megaku terus menyuarakan hal ini.
Belum lagi, roadshow ke kampus di UGM, UNAIR, UNSRI PALEMBANG, USU Medan, UNS Solo, UST Yogyakarta dan UI Jakarta, hingga forum Diskusi Publik di Jakarta, Sasmito mengaku terus menyuarakan pentingnya keadilan dalam penanganan BLBI- khususnya BCA Gate.
Bagi Sasmito, penjualan BCA dengan harga murah, mekanisme tender tidak transparan, dan pemberian SKL adalah bagian dari politik ekonomi yang merugikan rakyat, sehingga perlu terus dikritisi.
“Kontroversi BCA Gate menunjukkan betapa kompleksnya persoalan BLBI yang melibatkan kepentingan ekonomi dan politik sekaligus,” imbuhnya.
Sasmoto kembali menyatakan, Kwik Kian Gie dengan ketegasannya menolak SKL, menyoroti Rapat Kabinet yang tidak transparan, serta mengkritik harga jual yang tidak wajar, memperlihatkan sikap konsisten seorang teknokrat yang berpihak pada kepentingan bangsa.
“Sementara itu, perjuangan Sasmito Hadinagoro bersama gerakan civil society HMS (Hidupkan Masyarakat Sejahtera), menjadi bukti adanya suara rakyat yang terus mengawal kasus ini agar tidak tenggelam dalam arus politik praktis,” ujar Sasmito.
Keduanya, sambung Sasmito, meski berasal dari latar belakang berbeda, bertemu dalam satu garis perjuangan, yakni menuntut keadilan dan transparansi dalam penanganan Mega Skandal Korupsi Keuangan Negara BLBI Gate ribuan triliun, khususnya BCA Gate.
Tinggalkan Komentar
Komentar