Periskop.id – PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) membantah isu adanya dugaan rekayasa dalam akuisisi 51% saham BCA pada tahun 2002 yang sempat marak belakangan ini. Manajemen BCA pun memberikan klarifikasi resmi kepada Bursa Efek Indonesia (BEI), terkait pemberitaan media tersebut.
Corporate Secretary BCA, I Ketut Alam Wangsawijaya dalam keterangannya, Rabu (20/8) menuturkan, informasi yang menyebutkan pembelian 51% saham BCA dengan nilai hanya sekitar Rp5 triliun diduga melanggar hukum karena nilai pasar saat itu sekitar Rp117 triliun, merupakan informasi yang tidak benar.
“Angka Rp117 triliun yang sering disebut dalam narasi merujuk pada total aset BCA, bukan nilai pasar perusahaan,” ucapnya.
Ia menjelaskan, nilai pasar ditentukan oleh harga saham Perusahaan di bursa efek dikalikan dengan total jumlah saham yang beredar. Menurutnya, seiring BCA yang sudah melaksanakan Initial Public Offering (IPO) pada tahun 2000, maka harga saham BCA terbentuk berdasarkan mekanisme pasar.
“Ia melanjutkan, pada proses strategic private placement dilakukan, nilai pasar BCA berdasarkan harga saham rata-rata di Bursa Efek Indonesia Adalah sekitar Rp10 triliun. Angka inilah yang menjadi acuan valuasi saat transaksi berlangsung, bukan sekitar Rp117 triliun,” tuturnya.
Dengan demikian, lanjutnya, nilai akusisi 51% saham oleh konsorsium Farindo yang menang melaui tender, merupakan cerminan dari kondisi pasar saat itu. “Tender dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) secara transparan dan akuntabel,” ujar Ketut.
Selanjutnya, Ketut juga membantah informasi soal BCA yang memiliki utang kepada negara Rp60 triliunyang diangsur Rp7 triliun tiap tahunnya. “ Di dalam neraca, BCA tercatat memiliki aset obligasi pemerintah senilai Rp60 triliun dan seluruhnya telah selesai pada tahun 2009, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” imbuhnya.
Untuk diketahui, klarifikasi BCA ini dilakukan untuk menjawab permintaan BEI yang menindaklanjuti pemberitaan media pada 18 Agustus 2025 mengenai rencana DPR membuka kembali kasus akuisisi saham BCA, berdasarkan temuan Panitia Khusus DPD.
Manajemen menekankan, tidak ada kejadian material baru yang dapat memengaruhi kelangsungan usaha maupun pergerakan harga saham BBCA. Penjelasan resmi ini diharapkan memberikan kepastian kepada investor dan pemegang saham agar tidak terpengaruh isu yang tidak sesuai fakta.
Asal tahu saja, isu ini secara langsung memberikan dampak negatif ke pasar. Saham BBCA yang biasanya menjadi pilar utama penguatan IHSG, tertekan dan parkir di zona merah dalam dua hari terakhir akibat sentimen negatif ini.
Pada perdagangan Selasa, 19 Agustus 2025, saham BBCA tercatat melemah -2,30% ke level Rp8.500. Pelemahan ini berlanjut hingga pagi ini, di mana harganya kembali turun -0,88% ke Rp8.425, menambah catatan koreksi sejak awal tahun.
Sebelumnya, Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN) Sasmito Hadinegoro mendorong Presiden Prabowo Subianto menyelamatkan uang negara yang terkait megaskandal BLBI. Termasuk mengambil alih 51% saham BCA yang proses divestasinya kala itu dianggap merugikan keuangan negara
Menurut Sasmito, Presiden Prabowo perlu segera membentuk tim khusus untuk membongkar dugaan mafia keuangan di balik skandal raksasa yang menggerogoti uang rakyat hingga triliunan rupiah.
"Angin kencang beberapa kali telah kita tiupkan untuk mengusut kembali kasus BLBI-BCA. Pemerintah punya hak untuk mengambil kembali 51 % saham BCA, tanpa harus bayar," kata Sasmito dalam keterangannya, Rabu (13/8).
Sasmito menduga, ada rekayasa dalam akuisisi 51% saham BCA oleh Djarum Grup, kerajaan bisnis milik Budi Hartono di era Megawati. "Pada waktu itu, pada Desember 2002, nilai sahamnya (BCA) Rp117 triliun. Dalam buku, BCA mempunyai utang ke negara Rp60 triliun, diangsur Rp7 triliun setiap tahunnya," sebut Sasmito.
Tinggalkan Komentar
Komentar