Periskop.id - Anggota Komisi III DPR RI Rudianto Lallo mendesak Kepolisian Daerah Jawa Timur menetapkan pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban secara hukum, atas kasus ambruknya bangunan mushala di Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo. Pasalnya, kejadian ini sudah menimbulkan puluhan korban jiwa.

Rudianto mengatakan, timbulnya korban jiwa tersebut merupakan akibat dari kelalaian. Sehingga polisi harus memproses secara hukum kasus tersebut, tetapi dengan prinsip berkeadilan dan menjunjung kebenaran.

"Karena bagaimanapun juga harus ada pertanggungjawaban akibat kelalaian dari peristiwa ini karena kita tidak mau peristiwa ini terulang," kata Rudianto saat dihubungi di Jakarta, Kamis (9/10). 

Dia menegaskan, Komisi III DPR RI mendukung penuh Polda Jatim dalam mengungkap kasus ambruknya bangunan mushala di Ponpes Al Khoziny itu secara hukum. Menurut dia, kasus Al Khoziny menjadi pembelajaran yang berharga bagi semua pihak, agar berhati-hati dalam membangun gedung dengan memperhatikan standar-standar konstruksi.

Dengan turunnya Polda Jatim untuk mengusut kasus itu, Rudianto menyatakan bahwa akan terbuka kemungkinan ditetapkannya tersangka. "Ini kasus menyita perhatian publik dan korbannya banyak, jadi harus ada yang bertanggung jawab," kata legislator yang membidangi urusan penegakan hukum itu.

Sebelumnya, Kepolisian Daerah Jawa Timur memeriksa 17 orang saksi terkait penyelidikan kasus ambruknya bangunan di Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, pada Senin (29/9), yang menewaskan puluhan santri.

Kapolda Jawa Timur Irjen Polisi Nanang Avianto mengatakan, pemeriksaan belasan saksi itu dilakukan untuk mendalami penyebab dugaan kegagalan konstruksi bangunan mushala asrama putra yang ambruk.

"Kami sudah memeriksa sekitar 17 saksi dan jumlah itu masih bisa bertambah. Pemeriksaan lanjutan akan melibatkan pihak yang bertanggung jawab dalam pembangunan serta sejumlah ahli," ujarnya di Surabaya, Rabu (8/10) malam.

Keluarga Korban

Sebelumnya, keluarga korban ambruknya Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo juga meminta proses hukum tetap dijalankan seiring dengan upaya identifikasi korban yang masih berlangsung.

"Untuk keluarga pada saat ini sangat terpukul sekali. Kita sangat kehilangan sekali pada anak kami," kata Fauzi, salah satu keluarga korban asal Madura yang berdomisili di Depok, Jawa Barat saat ditemui di Rumah Sakit Bhayangkara Surabaya, Selasa malam.

Anaknya Toharul Maulidi (16) kelas 3 SMP menjadi korban selamat. Namun, empat keponakannya atas nama Albi, Ubaidillah, Haikal Ridwan, dan Muzaki Yusuf meninggal dunia.

Ia pun mempertanyakan kondisi sebelum insiden ponpes Al Khoziny ambruk, masih ada aktivitas pengecoran di lantai atas. Sementara di bawah ada santri yang sedang salat.

"Pada saat itu ada aktivitas ngecor di atas, dan di bawah ada yang salat. Nah, itu kan SOP-nya dari mana? saya tekankan kalau memang ada pelanggaran hukum di situ, ada kelalaian manusia, dia harus diproses, siapapun itu. Tidak memandang itu status sosial siapa, hukum harus ditegakkan," ujarnya.

Namun, hingga saat ini, kata dia, keluarga belum menempuh langkah hukum secara langsung. Ia berharap aparat penegak hukum segera menelusuri kasus tersebut tanpa menunggu seluruh proses identifikasi jenazah tuntas.

"Untuk sementara ini dulu. Kita harus bicarakan dengan keluarga. Tentunya aparat penegak hukum sudah ada reaktif untuk menelusuri itu. Untuk memeriksa pihak-pihak yang terlibat di sana," ucapnya.

Dalam kesempatan itu, ia juga menegaskan, keluarga tidak ingin berspekulasi soal penyebab kejadian tanpa data yang valid, dan meminta agar semua informasi yang beredar tetap mengacu pada fakta lapangan. “Kalau saya bicara, ya harus berdasarkan fakta. Jangan sampai ada bias,” ucapnya.

Sekadar informasi, Rumah Sakit Bhayangkara Surabaya telah menerima total 62 kantong jenazah korban ambruknya Ponpes Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, hingga Selasa siang. Dari jumlah tersebut 17 jenazah sudah teridentifikasi dan diserahkan kepada pihak keluarga.