Periskop.id - Dua terdakwa penembakan terhadap bos rental yang merupakan oknum anggota TNI Angkatan Laut (AL), atas nama Kelasi Kepala (KLK) Bambang Apri Atmojo dan Sersan Satu Akbar Adli, dikenakan biaya ganti rugi (restitusi) sebesar Rp576 juta.

"Mewajibkan dua terdakwa utama membayar restitusi kepada keluarga korban dan korban luka dengan total sebesar Rp576.298.300," kata Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Sri Nurherawati saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin (20/10). 

Untuk diketahui, Pengadilan Militer II-08 Jakarta menolak kasasi tiga oknum anggota TNI AL dalam kasus pembunuhan berencana terhadap pemilik usaha rental mobil di Tangerang, yakni Ilyas Abdurrahman.

Putusan kasasi dengan Nomor 25-K/PM.II-08/AL/II/2025 itu memperbaiki hukuman dari seumur hidup menjadi 15 tahun penjara. Serta mewajibkan dua terdakwa utama, membayar restitusi kepada keluarga korban dan korban luka dengan total sekitar sebesar Rp576 juta.

LPSK menyambut baik putusan tersebut dan menilai keputusan itu menjadi tonggak penting dalam penerapan restitusi di ranah peradilan militer.

Selain itu, lanjutnya, restitusi itu sekaligus menegaskan, korban memiliki hak hukum atas pemulihan, bukan sekadar menjadi saksi penderita. Sri menilai putusan kasasi ini menandai perubahan penting dalam sistem hukum pidana militer yang kini mulai menempatkan korban sebagai subjek hukum.

"Restitusi yang diwajibkan kepada pelaku menunjukkan bahwa pemulihan korban kini diakui sebagai bagian dari keadilan substantif dalam proses peradilan pidana," imbuhnya. 

Pergeseran Paradigma

Menurut Sri, langkah majelis hakim yang secara eksplisit memerintahkan pembayaran restitusi, memperkuat asas tanggung jawab pelaku terhadap akibat hukum dari tindakannya.

"Jika pelaku dijatuhi hukuman seumur hidup tanpa kewajiban membayar, keluarga korban akan tetap menanggung kerugian besar secara ekonomi maupun psikologis," lanjutnya. 

Selain itu, Sri juga menyoroti, arah pemidanaan di Indonesia mulai mengalami pergeseran paradigma. Jika sebelumnya fokus pemidanaan lebih kepada penghukuman pelaku, kini sistem hukum semakin menekankan pemulihan korban sebagai bagian dari keadilan yang utuh.

"Kami melihat Mahkamah Agung melalui putusan ini sudah berpijak pada prinsip keadilan restoratif. Pemidanaan tidak cukup menghukum pelaku, tapi juga harus mengembalikan hak korban," ujar Sri.

Adapun dalam putusan kasasi tersebut, hakim menetapkan hukuman berbeda bagi tiga oknum anggota TNI AL yang menjadi terdakwa. Terdakwa pertama, Kopral Kepala (Klk) Bambang Apri Atmojo dihukum 15 tahun penjara dan dipecat dari dinas militer.

Ia diwajibkan membayar restitusi kepada keluarga almarhum Ilyas Abdurrahman sekitar Rp209 juta dan kepada korban luka Ramli sekitar sebesar Rp146 juta.

Restitusi harus dibayar dalam 30 hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Jika tidak dipenuhi, Oditur Militer akan memberikan peringatan tambahan selama 14 hari.

"Bila tetap tidak dibayar, harta kekayaan terpidana dapat disita dan dilelang. Jika harta tidak mencukupi, dikenai pidana kurungan pengganti selama tiga bulan," tuturnya. 

Lalu, terdakwa kedua Sersan Satu (Sertu) Akbar Adli dihukum 15 tahun penjara dan dipecat dari dinas militer. Akbar wajib membayar restitusi kepada keluarga almarhum sekitar Rp147 juta dan kepada korban luka sekitar sebesar Rp73 juta.

Ketentuan pelaksanaan dan sanksi kurungan pengganti sama seperti terdakwa pertama. Sedangkan terdakwa ketiga, Sertu Rafsin Hermawan dihukum tiga tahun penjara dan dipecat dari dinas militer.

Selain ketiga oknum anggota TNI AL, Pengadilan juga memutus perkara terhadap tiga pelaku sipil dalam kasus yang sama, yakni Isra bin Almarhum Sugiri, Iim Hilmi dan Ajat Supriyatna,

Masing-masing dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, Banten. Ketiganya juga diwajibkan membayar restitusi masing-masing sekitar Rp56 juta kepada ahli waris almarhum Ilyas Abdurrahman.

Dalam perkara ini, LPSK memberikan perlindungan menyeluruh kepada tujuh orang terlindung. Terdiri atas saksi dan anggota keluarga korban.

Bentuk perlindungan meliputi pemenuhan hak prosedural, keamanan saat persidangan, pendampingan hukum dan psikologis serta fasilitasi restitusi, mulai dari penilaian kerugian hingga pemantauan pelaksanaan putusan. Menurut Sri, langkah ini menjadi bukti konkret bahwa perlindungan dan pemulihan korban kini menjadi bagian integral dari penegakan hukum.