periskop.id - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa Indonesia masih menghadapi kekurangan dokter spesialis yang signifikan. Saat ini, diperkirakan ada sekitar 70 ribu dokter spesialis yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan layanan kesehatan di tanah air.
“Berdasarkan proyeksi kebutuhan kesehatan 30 tahun ke depan yang kami susun bersama Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME), Indonesia kekurangan sekitar 70 ribu dokter spesialis,” kata Menkes saat kunjungan ke RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto, Jawa Tengah seperti dilansi dari Antara, Selasa (18/11)
Menurut Budi, setiap tahun Indonesia hanya menghasilkan sekitar 2.700 dokter spesialis. Angka ini masih jauh di bawah kebutuhan nasional dan tertinggal dibandingkan negara lain.
Sistem pendidikan spesialis di Indonesia juga berbeda dengan praktik global, karena peserta harus membayar biaya pendidikan dan tidak menerima gaji, sementara di banyak negara lain sebaliknya. Pemerintah pun tengah menyesuaikan regulasi melalui UU Kesehatan agar praktik pendidikan dokter spesialis lebih selaras dengan standar internasional.
Untuk mengatasi kesenjangan ini, pemerintah mendorong percepatan pemenuhan dokter spesialis di seluruh wilayah dengan memperluas jumlah rumah sakit penyelenggara pendidikan.
Saat ini, Indonesia baru memiliki 26 sentra pendidikan, yang membuat proses menjadi spesialis sulit dan mahal. Sebagai perbandingan, Korea Selatan dengan populasi sepertiga Indonesia mampu menghasilkan 3.000 dokter spesialis per tahun, sementara Inggris yang berpenduduk seperempat Indonesia memproduksi 12.000 dokter spesialis per tahun.
Pemerintah menargetkan pembukaan 500 rumah sakit pendidikan utama di seluruh kabupaten/kota untuk tujuh spesialis dasar. Tujuannya agar putra-putri daerah bisa menempuh pendidikan spesialis tanpa harus bersaing di pusat pendidikan besar di Jawa.
“Distribusi dokter tidak akan merata jika sentra pendidikan hanya terkonsentrasi di Jawa. Jika seorang calon dokter Papua belajar di RSUD Papua, ia akan kembali melayani daerahnya sendiri,” jelas Budi.
Selain kuantitas, kualitas pendidikan spesialis juga ditingkatkan dengan melibatkan lembaga akreditasi internasional, seperti Royal College of London dan ACGME Amerika Serikat. Hal ini memastikan standar rekrutmen, pembelajaran, dan praktik klinis transparan dan setara dengan standar global.
Menkes juga menyoroti ketimpangan distribusi dokter spesialis, termasuk di Jawa Tengah, yang meskipun relatif maju, masih ada kabupaten/kota yang belum memiliki tujuh spesialis dasar maupun tiga spesialis tambahan prioritas, yakni jantung, saraf, dan urologi.
“Ini menunjukkan betapa besar kesenjangan antara kebutuhan layanan dan ketersediaan dokter. Kondisi di luar Jawa bahkan lebih berat,” ujarnya.
Dengan strategi perluasan rumah sakit pendidikan dan peningkatan kapasitas, Menkes optimistis ketimpangan dokter spesialis di Indonesia dapat berkurang secara signifikan dalam 20 tahun ke depan.
Tinggalkan Komentar
Komentar