Periskop.id- Survei terbaru Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) menunjukkan, sebanyak 94,4% responden di Jakarta merasa terganggu dengan asap rokok di ruang publik. Karena itu, 95,3% mendukung ruang publik sehat tanpa asap rokok.

Perwakilan tim riset IYCTC Ni Made Shellasih dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (21/10) mengatakan, kesadaran masyarakat untuk melindungi kelompok rentan cukup tinggi. Dalam survei tersebut, diketahui sebanyak 88,6% responden mendukung pelarangan iklan rokok di dekat anak-anak dan 85,8% setuju pembatasan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah.

"Artinya, warga Jakarta sebenarnya sudah siap hidup di lingkungan yang lebih sehat dan bebas asap,” kata Ni Made.

Survei tersebut dilakukan dengan dua metode, yakni kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif dilakukan pada 30 Juli-15 September 2025 dan melibatkan 1.169 responden dengan rentang usia 18-50 tahun serta berstatus KTP DKI Jakarta. Survei itu dilakukan dengan menggunakan formulir digital voluntary response (responden sukarela).

Sedangkan metode kualitatif dilakukan pada 30 Agustus-11 September 2025 dan melibatkan 10 pengelola usaha yang terdiri dari lima pengelola warung dan lima pengelola kafe/restoran di wilayah DKI Jakarta. Dalam metode ini, tim peneliti melakukan wawancara semi-terstruktur, kemudian dianalisis secara tematik.

Selain terkait dukungan ruang publik tanpa asap rokok, survei tersebut juga memotret sikap responden terhadap area merokok yang terpisah di ruang terbuka. Sebanyak 94,2% responden mendukung agar area merokok ditempatkan secara terpisah di ruang terbuka, jauh dari keramaian atau pintu masuk gedung.

Sementara itu, Ketua Umum IYCTC Manik Marganamahendra mengatakan, Jakarta saat ini belum memiliki Peraturan Daerah (Perda) terkait Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Padahal, 86% daerah lain di Indonesia sudah memiliki Perda KTR sebagai payung hukum di tingkat daerah.

“Saat ini, Jakarta masih bergantung pada Peraturan Gubernur dan belum memiliki Perda KTR yang menjadi mandat dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024,” tutur Manik.

Karena itu, seruan percepatan pengesahan Perda KTR pun disuarakan oleh berbagai pihak, termasuk IYCTC yang mendapat dukungan publik terkait kebijakan pencegahan paparan asap rokok, terutama bagi anak dan remaja.

Di sisi lain, DPRD DKI Jakarta masih membahas finalisasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang KTR dengan mengakomodasi berbagai aspirasi masyarakat.

Ketua Panitia Khusus (Pansus) Raperda KTR DKI Jakarta Farah Savira menegaskan, pengesahan Raperda KTR menjadi langkah penting untuk melindungi warga. Khususnya anak dan remaja, dari paparan dan adiksi produk tembakau, baik konvensional maupun elektronik.

Dia juga memastikan masukan dan kekhawatiran pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) serta asosiasi pedagang kaki lima (PKL) terkait dampak ekonomi, juga telah menjadi bagian dari pembahasan kebijakan tersebut.

“Masukan tersebut kami hargai, namun kami pastikan Perda KTR bukan kebijakan yang membatasi usaha, melainkan mengatur ruang agar semua bisa beraktivitas dengan sehat dan aman,” jelas Farah.

Memberikan Perlindungan

Sebelumnya, Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) DKI Jakarta Ngadiran meminta, agar Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memberikan perlindungan dari sejumlah pasal dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Permintaan itu disampaikan setelah dia menyoroti penurunan omzet pedagang hingga 60%.

Dia mengkhawatirkan masalah tersebut semakin parah dengan adanya pasal pelarangan penjualan produk tembakau, zonasi larangan penjualan sejauh radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat anak bermain serta perluasan kawasan tanpa rokok hingga pasar tradisional.

“Saat ini, rata-rata omzet pedagang pasar sudah turun sampai 60%. Kami mohon perlindungan dan pemberdayaan dari pemerintah," kata Ngadiran di Jakarta, Sabtu.

Dia juga meminta secara khusus agar DPRD DKI Jakarta menganulir rancangan peraturan yang dinilai menyulitkan pedagang pasar tersebut.

Sementara itu, perwakilan APPSI Jakarta Utara Jariyanto menyayangkan perluasan larangan penjualan rokok dan pemberlakuan zonasi larangan penjualan.

Dia menjelaskan saat ini terdapat 23 pasar di Jakarta Utara, yang masing-masing dihuni 1.500 pedagang. Namun, menurut dia, keberadaan pasar tradisional kini semakin terkikis.

"Ada pasar yang setengah hidup, ada yang terlantar, ada yang berubah fungsi jadi tempat parkir. Pedagang pasar sudah semakin terjepit. Peraturan seperti ini semakin mempercepat kematian pasar tradisional,” ujar Jariyanto.

Oleh sebab itu, dia meminta agar Pemprov DKI dapat membantu dan meringankan beban para pedagang tersebut.