Periskop.id - Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) M Rizal Taufikurahman menilai, larangan penjualan rokok dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR), dapat menekan aktivitas pedagang kecil dan memutus rantai ekonomi rakyat.

Pasal-pasal pelarangan penjualan dalam Raperda KTR DKI Jakarta, menurut dia, mengabaikan realitas sosial-ekonomi perkotaan yang selama ini bertumpu pada perputaran sektor informal.

"Jangan lupa, pedagang kecil merupakan bantalan ekonomi Jakarta. Jika larangan penjualan diterapkan, efek domino negatifnya mencakup turunnya omzet, lesunya daya beli, dan meningkatnya pengangguran terselubung. Kondisi ini bisa menekan stabilitas sosial dan memperlebar kesenjangan ekonomi di tingkat bawah," kata Rizal di Jakarta, Rabu (5/11). 

Seperti diketahui, aturan larangan tersebut meliputi pelarangan penjualan rokok radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Termasuk pelarangan pemajangan, perluasan kawasan tanpa rokok hingga pasar tradisional, pasar rakyat hingga kewajiban memiliki izin berusaha khusus bagi penjualan rokok.

Rizal mengatakan, proyeksi hilangnya pendapatan daerah hingga 50% dari sektor pertembakauan, yang diakui oleh Panitia Khusus (Pansus) Raperda KTR DPRD DKI Jakarta, seharusnya menjadi sinyal fiskal serius bagi para pembuat kebijakan di Jakarta.

Terlebih, di tengah efisiensi transfer dana dari pusat, pemerintah daerah, termasuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu menempuh strategi transisi fiskal yang gradual. Di antaranya dengan memaksimalkan cukai hasil tembakau (CHT) untuk pemberdayaan dan pembangunan.

"Jadi, bukan langsung memangkas sumber penerimaan tanpa pengganti yang siap. Oleh karena itu, Raperda KTR seharusnya mengedepankan keseimbangan antara kesehatan publik dan keberlanjutan ekonomi rakyat," ujar Rizal.

Sebelumnya, Pansus Raperda KTR memutuskan untuk mempertahankan pasal pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, dalam draft akhir rancangan kebijakan tersebut. Ketua Pansus KTR Farah Savira menegaskan, tidak ada lagi ruang merokok di dalam ruangan tertutup (indoor smoking) dalam aturan itu.

Dia menuturkan, ketentuan itu tidak dihapus karena memiliki landasan hukum yang kuat dan menjadi bagian dari upaya melindungi anak-anak dari kemudahan akses terhadap rokok. 

Sebelumnya, Dewan Pertimbangan Wilayah (DPW) Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) DKI Jakarta meminta agar pasal larangan penjualan rokok, dihapus dari Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

“Semua pelarangan dalam Raperda KTR itu sangat menyusahkan pedagang kecil, pengecer, asongan, dan lainnya. Kami sebagai wadah pedagang pasar tradisional dan UMKM, minta betul-betul agar pasal tersebut dibatalkan.” Kata ketua DPW APPSI Ngadiran.

Dia menegaskan, pihaknya kecewa karena fokus dan perhatian wakil rakyat yang seharusnya melindungi dan memberdayakan pedagang pasar, justru membebani dengan aturan pelarangan tersebut. APPSI pun berharap legislatif serta ekseskutif dapat membuat peraturan yang adil dan mengakomodir pedagang kecil.

Partisipasi Publik

Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyoroti minimnya partisipasi publik, dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Jakarta. Menurut dia, sebuah peraturan daerah seharusnya mencerminkan seluruh komponen masyarakat, termasuk pelaku usaha kecil yang terdampak langsung oleh regulasi tersebut.

“Kalau dilihat banyak asosiasi dan pedagang yang protes, artinya penyusunan minim partisipasi publik. Harusnya raperda bersifat partisipatif karena ini diatur dalam UUD dalam pembentukan perundang-undangan,” ujar Trubus di Jakarta, Sabtu. 

Selain itu, dia juga menyoroti pentingnya pelibatan publik agar tidak terjadi gugatan setelah peraturan disahkan. Trubus mendorong adanya konsultasi publik dan dialog terbuka untuk membahas pasal-pasal yang bermasalah, seperti larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak.

“Jangan sampai sebuah peraturan justru merugikan rakyat kecil,” kata Trubus.

Di sisi lain, Ketua Koperasi Warteg Nusantara (Kowantara) Mukroni mengaku, pihaknya kecewa terhadap sikap Panitia Khusus (Pansus) DPRD DKI Jakarta yang tetap meloloskan pasal-pasal zonasi pelarangan penjualan rokok, pemberlakuan ijin penjualan hingga pelarangan pemajangan rokok.

“Kami kecewa, aspirasi pedagang kecil tidak didengarkan. Raperda KTR yang dipaksakan ini akan semakin menindas usaha rakyat kecil,” ujar Mukroni.