periskop.id - Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada 10 tokoh bangsa. Salah satu gelar tersebut diberikan kepada Presiden Indonesia ke-2, Soeharto.

Namun, pemberian gelar tersebut mendapatkan penentangan dari beragam pihak, termasuk Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP), Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol), Universitas Gadjah Mada (UGM), Alfath Indraguna.

Ia menyampaikan, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto tidak lepas dari agenda besar Presiden Prabowo untuk menormalisasi kekerasan negara masa lalu.

Alfath mengungkapkan kekecewannya ketika Presiden Soeharto disandingkan dalam satu daftar nama dengan Marsinah. Padahal, peran Soeharto dan Marsinah untuk bangsa sangat berbeda.

“Bagaimana mungkin Soeharto dan Marsinah muncul dalam satu daftar nama sebagai sesama pahlawan. Padahal, salah satunya (Marsinah) menjadi korban ketika menyuarakan kerja dan upah layak, sementara pelakunya (Soeharto) ‘merestui’ tindakan penghilangan paksa tersebut,” kata Alfath, kepada Periskop, Selasa (11/11).

Alfath juga menyoroti pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto juga diberikan bersamaan dengan mempertemukan titik simpul antara mantan presiden, purnawirawan TNI, tokoh religi, dan aktivis. Pertemuan titik simpul tersebut memperlihatkan lemahnya memori kolektif bangsa Indonesia.

“Persoalan lemahnya memori kolektif bangsa dan mempersatukan titik simpul kepahlawanan menjadi celah masuknya pemberian gelar pahlawan ini. Dengan begitu, publik tidak akan menolak sepenuhnya pemberian gelar tersebut,” tuturnya.

Bahkan, lemahnya memori kolektif bangsa juga semakin diperlihatkan oleh sikap Kementerian Kebudayaan yang mengaburkan fakta sejarah.

“Ini juga diperkuat oleh agenda kementerian kebudayaan yang mengubah beberapa sejarah nasional di mana terdapat beberapa fakta sejarah yang dikaburkan,” ungkap Alfath.

Meskipun pernah menjadi Presiden Indonesia adalah fakta yang tidak dapat disangkal, tetapi pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto tersebut tidak tepat.

“Memberikan gelar kepahlawanan bagi Soeharto atas kekerasan negara, pembredelan, dan bahkan penghilangan paksa yang telah memisahkan korban dengan orang-orang yang mereka cintai merupakan tindakan yang tidak tepat. Artinya, tidak semua presiden pantas menjadi pahlawan nasional,” tegas Alfath.

Diketahui, pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto diumumkan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 116/TK Tahun 2025.

“Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto, dengan ini menetapkan dan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh bangsa sebagaimana tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 116/TK Tahun 2025,” demikian pernyataan resmi yang dibacakan dalam upacara, Senin (10/11).