periskop.id - Nama Soeharto kembali jadi bahan perbincangan nasional. Bukan soal Orde Baru atau skandal masa lalu, tapi karena satu hal yang memecah opini, yaitu usulan pemberian gelar pahlawan nasional untuk dirinya.

Riset Drone Emprit mengungkap, isu ini bukan cuma ramai di ruang redaksi, tapi juga panas di lini masa. Total ada 2.333 artikel berita, 7.230 mentions media, dan 19.092 percakapan di media sosial yang membahas topik ini. Menariknya, hasilnya justru memperlihatkan dua dunia yang bertolak belakang, media cenderung positif, sedangkan publik di media sosial lebih banyak menolak.

Media Puji, Warganet Protes

Dari analisis Drone Emprit, terlihat 64% sentimen positif di media online, berbanding terbalik dengan 63% sentimen negatif di media sosial.
Media cenderung menyoroti jasa-jasa besar Soeharto, terkait keberhasilan membangun ekonomi, swasembada pangan, dan menjaga stabilitas nasional. Tokoh-tokoh seperti Fadli Zon, Gus Ipul, dan perwakilan Muhammadiyah bahkan menilai Soeharto layak karena memenuhi syarat formal.

Namun, dunia maya punya narasi lain. Mayoritas warganet justru melihat gelar ini sebagai bentuk pemutihan sejarah. Banyak yang menilai, mengangkat Soeharto sebagai pahlawan sama saja dengan melupakan luka bangsa terutama pelanggaran HAM, praktik KKN, dan represi politik di era Orde Baru.

Perdebatan publik kemudian berputar di dua poros utama, yaitu isu HAM dan isu pembangunan.
Kelompok pro menilai Soeharto berjasa membawa Indonesia keluar dari masa sulit, menciptakan ketahanan pangan, serta menjaga kedaulatan ekonomi.
Di sisi lain, kelompok kontra mengingatkan sisi gelap kekuasaannya, mulai dari tragedi 1965–1966, pembungkaman kebebasan sipil, hingga korupsi sistemik yang menular hingga kini.

Hal yang membuat isu ini makin sensitif adalah ironi pengusulan Soeharto bersamaan dengan aktivis ‘98, mereka yang dulu memperjuangkan kejatuhannya. Di media sosial, ironi ini memantik kemarahan dan sindiran. Seolah sejarah sedang bercanda dengan luka.

Elite dan Parpol Punya Dukungan Mengalir, Tapi Tidak Bulat

Secara politik, dukungan terhadap Soeharto datang dari berbagai arah.
Partai seperti Golkar, Gerindra, dan PSI mendukung dengan dalih menghargai jasa pembangunan. 

Presiden Joko Widodo pun disebut tak menolak jika secara administratif Soeharto memenuhi kriteria.
Namun, PDIP memilih berhati-hati. Mereka meminta peninjauan ulang terhadap rekam jejak Soeharto, terutama soal pelanggaran HAM.

Di sisi lain, Gus Mus dari Nahdlatul Ulama menolak keras usulan tersebut. Menurutnya, banyak kyai dan tokoh agama yang mengalami represi pada masa Orde Baru.

Suara Masyarakat Sipil

Para pakar hukum dan aktivis HAM menolak secara bulat. Tokoh seperti Romo Magnis, Bivitri Susanti, dan lembaga seperti Amnesty, KontraS, hingga ICW menegaskan bahwa memberikan gelar pahlawan pada Soeharto bukan sekadar penghargaan, tapi pesan moral yang berbahaya bagi demokrasi.
Mereka menilai, bangsa ini tak akan bisa belajar dari masa lalu jika terus menormalisasi penyimpangan kekuasaan.

Sebelum melihat siapa saja yang pro dan kontra, menarik untuk melihat bagaimana publik terbelah dalam memandang sosok Soeharto. 

Data dari Drone Emprit memperlihatkan bahwa percakapan di dunia maya membentuk empat kelompok besar dengan narasi yang saling berlawanan.

Riset Drone Emprit memetakan narasi publik dalam empat kelompok utama:

  1. Kelompok Pro-Pemberian Gelar: Soeharto sukses bangun dan jaga kedaulatan bangsa.
  2. Kelompok Publik Kontra-Pemberian Gelar: Ungkit sejarah Soeharto sebagai penyelundup sembako dan penculikan aktivis ‘98.
  3. Kelompok Media: Info Muhammadiyah dan PBNU dukung Soeharto jadi pahlawan.
  4. Kelompok Aktivis: Nyatakan tolak rencana pemberian gelar.

Perdebatan seputar Soeharto menunjukkan bahwa masyarakat masih terbagi antara menghargai jasanya sebagai pemimpin dan menolak bayang-bayang pelanggaran masa lalunya. Situasi ini mencerminkan tarik-menarik antara ingatan sejarah, moral, dan arah politik bangsa hari ini.

Apa pun keputusan akhirnya, isu Soeharto ini jadi cermin penting tentang bagaimana bangsa ini memandang sejarah dan memaknai kepahlawanan.

Apakah pahlawan diukur dari jasa membangun negeri, atau juga dari keberanian menjaga kemanusiaan?

Pertanyaan itu kini menggema, tak hanya di ruang redaksi dan istana, tapi juga di lini masa setiap warganet yang menulis, bertanya, dan menolak lupa.