periskop.id - Transparency International Indonesia (TII) mempertanyakan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional untuk Presiden kedua RI, Soeharto. TII menilai posisi Soeharto sangat bertolak belakang dengan tokoh lain seperti Marsinah dan Gus Dur, yang juga dihormati sebagai pahlawan.

Peneliti TII, Dzatmiati Sari, menyoroti kontradiksi tajam antara Soeharto sebagai presiden yang berkuasa di Orde Baru dengan Marsinah. Ia mempertanyakan bagaimana seorang korban pembunuhan di era itu bisa disetarakan dengan pemimpin yang berkuasa saat kejahatan terjadi.

“Bagaimana mungkin itu bisa terjadi ketika Marsinah itu sebagai korban pelecehan dan pembunuhan di Orde Baru, di mana Soeharto menjadi presiden ditempatkan di posisi yang sama keduanya,” kata Dzatmiati, saat dikonfirmasi, Rabu (12/11).

“Saat itu, Soeharto secara tidak langsung melakukan kejahatan di Orde Baru, tapi Marsinah dilecehkan dan dibunuh juga di eranya kepemimpinan Soeharto. Artinya metode dan mekanisme hukum yang berlaku saat itu adalah di bawah kepemimpinan Soeharto,” imbuhnya.

Selain itu, Dzatmiati juga membandingkan posisi Soeharto dengan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dalam hal pengabdian kepada negara.

Menurutnya, Gus Dur adalah tokoh yang gigih melawan sistem otoriter, sementara Soeharto adalah arsitek yang membangun rezim tersebut.

“Gusdur itu adalah orang yang melawan sistem otoritarianisme. Dan kita semua tahu otoritarianisme dibangun oleh Soeharto. Bagaimana mungkin seseorang yang melawan sistem otoritarian itu berdampingan dengan pelaku otoritarian yang menciptakan rezim otoriter itu sendiri?” ungkap Dzatmiati.

Atas dasar kontradiksi tersebut, TII menilai pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto berisiko besar "mengampuni" sejarah kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu.

“Jadi, kami menilainya juga bahwa penobatan Soeharto itu berisiko menihilkan, memutihkan, mengampuni kekerasan, pelanggaran HAM, dan kasus-kasus pembantaian massal. Kalau kita uraikan penembakan Wisarius Petrus (1983-1985); tragedi Tanjung Priok (1984), tragedi Talangsari (1989); kekerasan sistematis di Aceh, Timor-Timor, Papua; penghilangan paksa para aktivis prademokrasi (1997-1998), dan banyak sekali korban dari semua itu, termasuk para perempuan,” ungkap Dzatmiati.

Dzatmiati menegaskan bahwa penganugerahan gelar ini seakan menjadi tanda bahwa negara telah mengampuni dosa-dosa besar tersebut, meskipun kasusnya tidak pernah diusut tuntas.

“Itu artinya negara mengampuni yang mana kasus itu, kejahatan itu tidak pernah juga diusut oleh negara. Jadi, negara lepas tangan dari kasus pelanggaran HAM. Sehingga pemberian gelar pahlawan ini juga menandakan bahwa pelanggar berat HAM menjadi pertanda akan terulangnya krisis moral seperti di tahun 1998,” tegas Dzatmiati.

Sebagai informasi, Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada 10 tokoh bangsa pada Senin (10/11).

Penganugerahan ini diumumkan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 116/TK Tahun 2025.

“Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto, dengan ini menetapkan dan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh bangsa sebagaimana tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 116/TK Tahun 2025,” demikian pernyataan resmi yang dibacakan dalam upacara tersebut.