periskop.id - Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Utara (Sumut) Rianda Purba menyangkal pernyataan dari Gubernur Sumut dan pemerintah terkait banjir di tiga provinsi Sumatera akibat Hidrometerologi. Ia menegaskan bencana tersebut terjadi akibat kerusakan hutan.

“Jadi kita menyangkal pernyataan dari Gubernur Sumatera Utara bahwa banjir tersebut karena cuaca ekstrim, pemicu utamanya bukan cuaca ekstrim ini. Pemicu utamanya adalah kerusakan hutan dan alih fungsi lahan dari hutan menjadi non-hutan, baik dari sisi hukum maupun dari sisi fakta,” kata Rianda, dalam konferensi pers, Senin (1/12).

Dari sisi hukum, pada 2014, ada perubahan peruntukan kawasan hutan, khususnya wilayah ekosistem Batang Toru atau Harangan Tapanuli. Kawasan hutan tersebut berubah status menjadi non-hutan atau arean penggunaan lain (APL).

“Nah, itu salah satunya adalah SK nomor 579. Nah, dari situ kemudian banyak investasi masuk di wilayah ekosistem tersebut. Misalnya PLTA NSHE Batang Toru, perluasan tambang emas Martabe yang juga sejak 2020, perkebunan kayu rakyat PTTPL. Kemudian juga aktivitas pembukaan lahan sawit alih fungsi dari hutan ke non-hutan, yaitu perkebunan sawit,” ungkap Rian.

Rian menyampaikan, perubahan status hukum hutan tersebut membuat beberapa pihak atau  pemegang hak atas tanah melakukan transaksi jual beli lahan yang secara fakta itu adalah hutan. Namun, secara hukum, itu statusnya non-hutan.

“Sehingga orang seenaknya saja, oknum baik secara legal ataupun ilegal itu melakukan penebangan hutan dan alih fungsi lahan. Nah, ini yang terjadi dan sangat kita sayangkan pemerintah seenaknya saja ya mengubah peruntukan lahan hutan menjadi non-hutan,” tutur dia.

Selain itu, di wilayah tersebut juga banyak desa yang dialihfungsikan menjadi kawasan hutan. Akibatnya, desa-desa itu juga terkena dampaknya.

“Ini juga logika yang salah dari pemerintah kita dalam pengaturan sumber daya alam dan pengaturan agraria kita,” ujar Rian.

Menurut Rian, kontribusi masyarakat setempat untuk pengrusakan hutan tidak ada, tetapi lahan mereka diubah menjadi hutan.

Masyarakat lokal menyadari bahwa hutan memiliki peran penting untuk menopang kehidupan, yaitu sumber air dan mencegah banjir.

“Mereka paham itu warga, mereka punya kearifan bagaimana juga mereka punya kalau di wilayah selatan Tapanuli, wilayah tengah dan utara itu mereka punya lubuk-lubuk larangan itu,” ujar dia.

Masyarakat lokal memahami betul suatu ekosistem dapat menjadi pengaturan air yang harus dijaga dan didiskusikan melalui mekanisme adat di pemerintahan desa.

“Jadi proses partisipatif itu dalam pengolahan ruang di wilayah desa-desa yang saat ini terdampak itu sudah berlangsung lamanya bahkan ratusan tahun,” tutur Rian.

Rian menegaskan, bukan mengubah status hukum hutan seenaknya, melainkan partisipasi masyarakat adat ini yang dapat menjaga dan melindungi ekosistem dari kerusakan, termasuk bencana banjir.

“Nah ini sebenarnya yang harus dijadikan pembelajaran bagi pemerintah bahwa dalam pengaturan ruang hidup khususnya hutan ekosistem itu harus memang mengedepankan partisipasi aktif dari masyarakat lokal,” katanya.

Sebelumnya, Menko PMK Pratikno menjelaskan, dalam beberapa hari terakhir, Siklon Tropis Senyar membawa hujan dengan intensitas sangat tinggi di tiga provinsi terdampak, yaitu Aceh, Sumut, dan Sumatera Barat. Inilah yang kemudian memicu banjir, banjir bandang, dan longsor, serta mengganggu layanan transportasi maupun pelayaran.

"Ini telah memakan cukup banyak korban jiwa, tapi data masih di-update," katanya.

Sementara itu, Gubernur Sumut Bobby Nasution menetapkan status tanggap darurat bencana selama 14 hari ke depan menyusul kejadian banjir, tanah longsor, dan gempa bumi di wilayah Sumut.

Status ini dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur Sumut Nomor 188.44/836/KPTS/2025 tentang Penetapan Status Tanggap Darurat Bencana selama 14 hari terhitung pada 27 November hingga 10 Desember 2025.

"Hal ini dilakukan karena melihat sebagian besar wilayah di Sumut mengalami banjir dan longsor," ucap Kepala Dinas Kominfo Provinsi Sumut Erwin Hotmansah Harahap di Medan, Sumatera Utara, Jumat (28/11).

Erwin menjelaskan, surat keputusan (SK) ini menugaskan instansi/perangkat daerah terkait segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan menangani banjir, tanah longsor, dan gempa bumi.