periskop.id - Popularitas di media sosial bisa jadi anugerah sekaligus ujian. Fenomena inilah yang kini menyelimuti sosok Gus Elham, pendakwah muda yang belakangan ramai diperbincangkan publik. 

Gaya penyampaiannya yang lugas dan ekspresif membuatnya cepat viral di dunia maya. Namun, di balik sorotan dan jutaan penonton, muncul pula pertanyaan tajam, viral karena dakwahnya yang menyentuh atau ulahnya yang kontroversial?

Popularitasnya memang mengundang perhatian, tapi beberapa video dan pernyataannya menimbulkan pro dan kontra. 

Berikut rangkuman tindakan Gus Elham yang menuai kontroversi:

  • Video Viral Mencium Anak di Atas Panggung

Salah satu video yang menyebar memperlihatkan Gus Elham mencium pipi seorang anak perempuan di atas panggung pengajian. Tindakan ini langsung menimbulkan reaksi keras dari publik karena dianggap tidak pantas bagi seorang dai di depan jamaah.

  • Ceramah Kontroversial Merokok Sambil Zikir

Selain itu, Gus Elham sempat viral karena pernyataannya dalam ceramah bahwa, “Setiap hisapan rokok mendapatkan pahala”. Klaim ini memicu kritik dari publik dan kalangan ulama karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai etika dakwah dan prinsip kesehatan dalam Islam.

  • Sorotan dari Lembaga Keagamaan

Menurut Kementerian Agama, perilaku seperti itu tidak pantas dan bisa menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Hal ini menunjukkan bagaimana tindakan seorang dai muda bisa berimplikasi lebih luas dan memengaruhi persepsi publik terhadap dakwah digital.

Antara Dakwah dan Sensasi

Dalam era digital seperti sekarang, batas antara dakwah dan drama kian kabur. Media sosial menawarkan panggung luas, tapi juga jebakan eksposur yang berlebihan. Setiap ucapan bisa jadi inspirasi atau malah bahan perdebatan.

Sebagian orang memuji Gus Elham karena berani tampil beda dan dekat dengan anak muda. Namun, tak sedikit pula yang menilai gaya komunikasinya kadang terlalu provokatif, bahkan menyinggung pihak lain. Di sinilah muncul dilema, apakah gaya dakwah yang atraktif harus selalu seimbang dengan etika?

Kita semua tentu ingin mendengar dakwah yang menyejukkan, bukan yang memecah belah. Namun, bagaimana batasnya? Apakah setiap gaya komunikasi bisa dibenarkan atas nama kreativitas dakwah? Nah, di sinilah menariknya pembahasan para ahli tentang etika berdakwah di media sosial.

Dalam artikel “Etika Dakwah dan Media Sosial: Menebar Kebaikan Tanpa Diskriminasi” oleh Azis dan Fahmi, dijelaskan bahwa dakwah digital memiliki potensi luar biasa dalam menjangkau audiens luas. Namun, kekuatan itu juga membawa tanggung jawab moral. Dakwah harus disampaikan dengan cara yang arif, santun, dan tanpa diskriminasi agar tidak menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat.

Hal serupa ditegaskan dalam artikel “Etika Komunikasi Islam dalam Dakwah Media Sosial dan Tantangan dan Solusi di Tengah Arus Modernitas” yang diterbitkan oleh Pusdikra Publishing. Kajian ini menyoroti bahwa pendakwah sebaiknya mengedepankan nilai kejujuran, kelembutan, dan kesantunan dalam menyampaikan pesan keagamaan agar tidak kehilangan esensi spiritualitas di balik popularitas.

Saat Popularitas Menjadi Ujian

Popularitas memang menggoda. Ia bisa jadi ladang pahala, tapi juga jebakan ego yang halus. Fenomena Gus Elham seolah mengingatkan bahwa dakwah di media sosial kini tak hanya dinilai dari isi pesan, tapi juga cara dan sikap sang penyampai.

Lalu, apakah benar seorang dai perlu tampil viral agar suaranya didengar? Atau cukup menyampaikan kebenaran dengan tulus tanpa harus berlomba dalam sorotan?

Fenomena Gus Elham membuka ruang diskusi luas tentang etika dakwah di era digital. Dakwah seharusnya tetap berakar pada nilai-nilai Islam yang menebarkan kasih sayang, bukan kebisingan. Media sosial memang bisa membuat seseorang viral, tapi hanya etika dan kebijaksanaan yang membuat pesan dakwah bertahan lama.

Viral boleh, asal tidak kehilangan arah. Karena sejatinya, dakwah bukan tentang siapa yang paling didengar, tapi siapa yang paling bisa menghadirkan kebaikan.

Dakwah yang Menuai Sorotan

Fenomena dai viral tak hanya milik Gus Elham. Bersama Gus Miftah dan Habib Zaidan, ketiganya punya gaya dakwah berbeda, tapi sama-sama ramai disorot publik karena kontroversinya.

Gus Miftah dikenal lewat gaya panggungnya yang penuh ekspresi dan aksi nyentrik. Dari berdakwah di kelab malam hingga menoyor kepala istrinya di depan umum, hampir setiap gerak-geriknya memancing pro-kontra. Banyak yang memuji keberaniannya menjangkau audiens nonkonvensional, tapi tak sedikit yang menilai caranya terlalu jauh dari adab seorang dai.

Habib Zaidan juga tak lepas dari sorotan. Ucapannya yang blak-blakan, termasuk saat bercanda soal “nyoblos” di TPS dengan konotasi seksual bersama Gus Miftah, membuat publik geram. Ia bahkan sempat dianggap melegalkan tindakan tak pantas demi cinta yang dinilai melenceng dari nilai moral dakwah.

Sementara itu, Gus Elham muncul sebagai figur muda yang gaya komunikasinya juga tak kalah kontroversial. Ia menempuh jalur berbeda, tetapi efeknya sama, yaitu mengundang perdebatan luas tentang batas wajar dalam berdakwah di era digital.

Meski ketiganya membawa semangat dakwah yang segar dan modern, gaya penyampaian yang terlalu bebas justru membuat publik bertanya-tanya, apakah dakwah masa kini sedang berkembang atau malah kehilangan arah di tengah derasnya arus sensasi?

Potret Dua Kutub Dakwah di Era Media Sosial

Gus Elham tampil dengan gaya ekspresif dan berani menabrak batas, sementara Ustaz Adi Hidayat dan Ustaz Khalid Basalamah menunjukkan bahwa keteduhan dan ilmu bisa jauh lebih berpengaruh daripada sensasi. Perbedaan ini menegaskan dua wajah dakwah masa kini, antara yang memburu perhatian dan yang berpegang pada kedalaman makna.

Gus Elham memanfaatkan media sosial sebagai panggung dakwah yang komunikatif dan emosional. Gayanya yang spontan membuat pesan cepat viral, tetapi juga kerap menimbulkan perdebatan karena batas antara dakwah dan hiburan semakin tipis.

Sebaliknya, Ustaz Adi Hidayat dan Ustaz Khalid Basalamah memilih jalur yang tenang dan berakar pada ilmu. Ustaz Adi Hidayat dikenal dengan pendekatan rasional dan sistematis, sedangkan Ustaz Khalid Basalamah menonjol lewat ketegasan prinsip dan tutur yang lembut. Keduanya menjaga ketulusan dakwah tanpa bergantung pada popularitas.

Perbandingan ini menggambarkan pergeseran arah dakwah di era digital ketika sebagian mencari sorotan, sedangkan sebagian lain menjaga substansi. Namun, di tengah riuhnya konten keagamaan yang sering kabur batasnya, gaya ilmiah dan santun ala Ustaz Adi Hidayat dan Ustaz Khalid Basalamah menjadi penyeimbang. Mengingatkan bahwa dakwah sejati bukan soal siapa yang paling viral, tapi siapa yang paling menenangkan hati.

Etika Ceramah Menurut MUI

Fenomena dai viral seperti Gus Elham menunjukkan pentingnya etika dalam berdakwah. Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ahmad Zubaidi menegaskan bahwa ceramah bukan sekadar soal berbicara di depan publik, tapi amanah besar yang menuntut adab, ilmu, dan tanggung jawab moral.

Setiap penceramah diimbau menggunakan bahasa yang sopan, santun, dan mendidik, bukan provokatif atau menyinggung pihak lain. Humor boleh saja digunakan asal tetap bernilai positif dan tidak merendahkan siapa pun. Dakwah seharusnya menyejukkan, bukan memecah belah.

Selain tutur kata, sikap dan gestur juga bagian dari etika dakwah. Dai idealnya tampil tenang, berwibawa, dan menunjukkan keteladanan, bukan mencari sensasi. Penampilan yang sopan dan ekspresi ramah akan membuat pesan lebih mudah diterima jemaah.

Etika ini menegaskan bahwa kekuatan dakwah bukan di jumlah penontonnya, melainkan pada ketulusan dan kebijaksanaan penyampainya. Seperti ditunjukkan Ustaz Adi Hidayat dan Ustaz Khalid Basalamah, dakwah yang berilmu dan santun bisa menembus hati tanpa perlu kontroversi.

Fenomena dai viral seperti Gus Elham menjadi pengingat penting bagi publik bahwa tidak semua yang ramai di media sosial layak dijadikan rujukan tanpa proses penyaringan kritis. Di tengah derasnya arus konten keagamaan, audiens dituntut untuk lebih selektif dalam menilai mana dakwah yang membawa nilai edukatif dan mana yang sekadar memancing sensasi.

Masyarakat sebaiknya menumbuhkan kebiasaan tabayun, memeriksa kebenaran dan konteks sebelum menarik kesimpulan. Menyimak dakwah bukan hanya soal siapa yang berbicara, tetapi bagaimana nilai dan pesan yang dibawanya sejalan dengan ajaran Islam yang penuh kasih, kebijaksanaan, dan adab.