Periskop.id - Efek pergantian kepemimpinan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ternyata memberikan respons instan di pasar modal. Sejak Purbaya Yudhi Sadewa dilantik sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani Indrawati pada 8 September 2025 oleh Presiden Prabowo Subianto, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatat rekor all time high (ATH) yang luar biasa.
Fakta ini ditegaskan oleh Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Iman Rachman.
"Indeks kita ternyata mencapai rekor high sepanjang 2025 itu 22 kali. Tapi yang menarik 21 kalinya jaman menteri keuangan baru (Purbaya). Jadi bisa kita bayangkan dampak daripada persepsi investor terhadap ekonomi kita,” ujar Iman dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan BEI di Jakarta, seperti dikutip oleh Antara, Rabu (3/12).
Di bawah kepemimpinan Purbaya, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) sejak 2020, IHSG tidak hanya menorehkan rekor frekuensi ATH, tetapi juga berhasil menembus level psikologis krusial 8.000, yang kini telah melonjak hingga menyentuh 8.600.
“Ibu Sri Mulyani satu kalinya, dan Pak Purbaya 21 kali karena tembus 8.000 jaman beliau. Jadi, kalau kita bicara 8.000 dan setiap dua bulan ini naik terus, sampai kemarin 8.600,” jelas Iman.
Performa pasar yang impresif ini juga diiringi dengan sinyal menurunnya capital outflow di pasar saham Indonesia, sebuah indikasi jelas meningkatnya kepercayaan investor asing dan domestik terhadap stabilitas dan prospek ekonomi nasional di bawah kendali Purbaya.
Insentif sebagai Palu Godam Melawan 'Saham Gorengan'
Kenaikan eksponensial IHSG usai Purbaya menjabat bukan sekadar fenomena honeymoon politik. Kenaikan ini didorong oleh sinyal substantif yang ditangkap pelaku pasar, di mana Purbaya dianggap membawa pendekatan yang realistis dan strategis terhadap ekosistem pasar modal.
Hal paling fundamental adalah konsentrasi Purbaya pada penyakit kronis bursa saham, yakni ‘saham gorengan’. Saat berkunjung ke kantor BEI pada Kamis (9/10), Purbaya secara terang-terangan menghubungkan insentif fiskal dengan integritas pasar.
“Tadi direktur bursa minta insentif terus, yang belum tentu saya kasih. Jadi saya bilang akan saya beri insentif kalau Anda sudah merapikan perilaku investor di pasar modal. Artinya goreng-gorengan dikendalikan, supaya investor kecil terlindungi, baru saya pikir insentifnya,” ujarnya menohok.
Pernyataan ini bukan omong kosong. Purbaya membuka peluang insentif fiskal, seperti pengurangan beban pajak bagi pelaku dan BEI, jika pasar modal bisa lebih bersih dan berintegritas, sebagaimana dilaporkan Antara pada Jumat (10/10). Ini adalah deal yang cerdas dan strategis, sebab negara tidak langsung memberi karpet merah, melainkan menuntut reformasi sebagai prasyarat dukungan.
Pasar membaca ini sebagai gaya kepemimpinan yang paham institusi bergerak dengan insentif ketimbang imbauan moral. Dengan menjadikan insentif fiskal sebagai alat tawar, Purbaya secara taktis memaksa BEI untuk memilih antara reformasi atau kehilangan dukungan negara.
Tak lama berselang, pada Rabu (29/10), BEI pun merespons cepat dengan membentuk Tim Kerja khusus untuk menangani saham-saham gorengan.
Direktur Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik memastikan bahwa perlindungan investor tetap menjadi prioritas.
“Kemarin Pak Irvan (Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Irvan Susandy, Red.) sudah menyampaikan tentang Tim Kerja itu. Tetapi tadi saya sampaikan juga, intinya terkait dengan perlindungan investor selalu menjadi prioritas kami,” ujar Jeffrey.
Fokus Purbaya terhadap saham gorengan sangat relevan secara generasional. Dengan sekitar 50% investor pasar modal berasal dari kalangan muda, membiarkan praktik manipulatif merajalela sama saja merusak fondasi pasar modal jangka panjang dan menghancurkan kepercayaan investor pemula.
Purbaya sadar, membersihkan pasar adalah investasi pada kepercayaan 10–20 tahun ke depan, bukan hanya stabilitas hari ini. Singkatnya, ia menggunakan insentif sebagai bahasa paling efektif untuk menggerakkan birokrasi, sebuah pendekatan yang sangat disukai pasar.
Mencairkan Kekakuan Fiskal-Moneter
Faktor kunci kedua yang memperkuat sentimen positif pasar—dan kenaikan IHSG—adalah perubahan signifikan dalam koordinasi fiskal–moneter. Purbaya membawa pendekatan fiskal yang tegas namun fleksibel, diiringi sinergi yang lebih cair dan terbuka dengan Bank Indonesia (BI).
Sinergi kebijakan ini krusial karena menghilangkan ketidakpastian yang selama ini menyelimuti pasar, sehingga persepsi risiko investasi di Indonesia menurun drastis.
Contoh konkret dari sinergi ini terlihat pada penyaluran dana pemerintah sebesar Rp200 triliun dari BI ke bank-bank Himbara. Keputusan Bendahara Negara ini dipandang brilian karena memperkuat injeksi likuiditas yang sudah dilakukan BI sebelumnya, yaitu melalui penurunan posisi instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dari Rp916,97 triliun pada awal 2025 menjadi Rp716,62 triliun pada 15 September 2025. Bagi pasar, ini adalah sinyal yang menunjukkan stabilitas dan keberanian negara untuk menggunakan seluruh instrumen kebijakan guna menjaga likuiditas.
Kemesraan Pemerintah dan BI juga terlihat saat perwakilan Kemenkeu, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Thomas Djiwandono, hadir pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada Rabu (19/11). Purbaya menerangkan bahwa langkah tersebut adalah bagian dari upaya memperdalam koordinasi kebijakan antara pemerintah dan bank sentral, sebuah langkah yang sah secara hukum merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Pasal 43 ayat (1A).
Purbaya secara efektif mendobrak batasan kaku antara Kemenkeu dan BI—sekat-sekat yang dibentuk oleh UU Keuangan Negara dan UU Bank Indonesia pasca-krisis Asia. UU tersebut, yang lahir di awal 2000-an, didorong oleh trauma inflasi dan disiplin IMF. Namun, dunia kini menghadapi tantangan yang berbeda: fragmentasi perdagangan global, disrupsi teknologi, dan ketidakpastian geopolitik.
Kehadiran perwakilan Kemenkeu dalam RDG BI menandai perubahan penting, di mana sekat kaku warisan pasca-krisis mulai dilunakkan. Purbaya tampaknya memahami bahwa disiplin fiskal dan independensi moneter tidak harus berarti kaku dan terisolasi.
Dalam konteks ekonomi global yang volatile saat ini, yang dibutuhkan adalah kebijakan yang gesit, terkoordinasi, dan mampu membaca momentum. Stabilitas saja tidak cukup; sinergi adalah kunci untuk menjaga momentum pertumbuhan dan meredam gejolak pasar, sebuah visi yang disambut positif oleh lonjakan IHSG.
Tinggalkan Komentar
Komentar