periskop.id - Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Indonesia Arifki Chaniago menilai ketegangan yang terjadi antara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan PDI Perjuangan (PDIP) merupakan wujud persaingan memperebutkan atensi publik di jalur politik yang kian menyempit.
“Hal ini bukan hanya soal perbedaan ideologi atau preferensi tokoh yang berbeda, tetapi soal siapa yang lebih dulu menguasai perhatian publik,” kata Arifki, Selasa (25/11).
Arifki merespons perang wacana yang terjadi belakangan ini. Saling sindir antara politisi PSI Ahmad Ali dan politisi PDIP Guntur Romli menjadi indikator nyata persaingan dua kekuatan politik tersebut.
Menurutnya, PSI dan PDIP memiliki lingkup target pemilih yang beririsan sehingga membuat suhu kompetisi semakin panas.
“Pertarungan wacana PSI vs PDIP sekarang ibarat dua pengemudi yang masuk ke satu jalur sempit. Kedua partai ini tak bisa dipungkiri memiliki ceruk pemilih yang sama," ucap Arifki.
Ia mencontohkan ikon kedua partai yang memiliki irisan sejarah kuat. Jika PSI kini mengandalkan sosok Jokowi sebagai ikon, PDIP sudah sejak lama memiliki Megawati Soekarnoputri. Padahal, Jokowi sebelumnya merupakan kader PDIP.
Gesekan menajam karena ruang manuver kedua partai berimpitan. Target pasar mereka serupa, yakni kalangan nasionalis, pemilih muda, dan pengguna aktif platform digital.
“Gesekan muncul bukan karena salah satu pihak berada di jalur yang keliru, tetapi karena ruang manuver yang direbut adalah ruang yang sama: ceruk pemilih nasionalis, pemilih muda, dan publik digital yang semakin menentukan arah politik nasional kedepannya," tutur Arifki.
Gaya komunikasi politik turut mempertegas rivalitas ini. PSI menerapkan strategi akselerasi dengan serangan cepat dan konten satir yang memancing viralitas.
Di sisi lain, PDIP yang memiliki kelembagaan kuat dan tradisional tidak tinggal diam. Partai berlambang banteng ini mulai ikut bermain narasi serupa agar tidak dinilai pasif oleh publik.
“Di jalur sempit seperti itu, setiap manuver punya risiko. PSI sesekali menggeser ke kiri untuk menyalip narasi lama. Sementara itu, PDIP mencoba mempertahankan laju dengan ikut melakukan serangan balik. Ketika keduanya bergerak di ruang yang sama, benturan wacana hampir tak terhindarkan,” jelasnya.
Arifki menganalisis kondisi ini sebagai tanda peta politik Indonesia sedang mengalami demam perubahan. Jalur politik yang dulu lapang, kini menyempit karena publik digital bertindak sebagai wasit baru.
Momentum partai kini sangat ditentukan oleh siapa yang paling berpengaruh di ruang maya.
“Ruang wacana kini dikendalikan oleh kecepatan respons dan kemampuan membangun simbol. Siapa yang terlambat, tersalip. Siapa yang terlalu cepat, bisa kehilangan kontrol. Karena itu duel PSI vs PDIP lebih dari sekadar saling sindir, ini kompetisi untuk memegang kemudi opini publik,” ungkap dia.
Ke depan, jalur politik diprediksi tidak akan melebar, melainkan semakin padat, bising, dan kompetitif. Publik memiliki akses penuh untuk merespons setiap narasi yang dibangun parpol.
“Pertarungan PSI dan PDIP ini bisa dibaca sebagai prolog dari dinamika yang lebih besar. Jika dua kendaraan saja sudah bersenggolan, bayangkan ketika lebih banyak aktor politik mulai masuk ke jalur yang sama. Kontestasi wacana akan menjadi medan utama menuju 2029,” tutup Arifki.
Tinggalkan Komentar
Komentar