Periskop.id – Badan Pusat Statistik (BPS) sudah menyatakan, garis kemiskinan di nasional per maret 2025 sebesar Rp609.160 per kapita per bulan. Namun, menurut Tenaga Ahli Utama Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Dedek Prayudi, penghitungan garis kemiskinan tidak bisa disederhanakan hanya dengan membagi angka Rp609.000 per kapita per bulan menjadi sekitar Rp21.000 per hari.
Pernyataan itu ia sampaikan di Jakarta, Rabu (29/7), menanggapi tanggapan beragam publik soal hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), baru-baru ini. “Tidak seperti itu logikanya,” katanya saat dikonfirmasi.
Susenas tahun ini mencatat tingkat kemiskinan sebesar 8,47%, lebih rendah dari 8,57% pada September 2024. Dari sisi jumlah, penduduk miskin juga berkurang menjadi 23,85 juta orang.
Dari penjelasan BPS, garis kemiskinan tersebut dihitung berdasarkan pengeluaran kebutuhan dasar rumah tangga, baik makanan maupun non-makanan. Pada Maret 2025, rata-rata garis kemiskinan nasional tercatat sebesar Rp609.160 per kapita per bulan. Artinya, rumah tangga miskin dengan rata-rata 4,72 anggota rumah tangga yang pengeluarannya berada di bawah Rp2.875.235 per bulan.
Dedek menerangkan, angka Rp609.160 per bulan merupakan standar yang digunakan BPS untuk satu individu (per kapita). Artinya, jika dalam satu rumah tangga terdapat lima anggota keluarga, maka total pengeluaran minimum agar tidak tergolong miskin harus sekitar Rp3 juta per bulan.
“Kalau anggota keluarganya lima orang maka Rp609.000 dikalikan lima, jadi Rp3 juta. Bukan lagi Rp21 ribu per hari untuk satu keluarga,” kata Dedek.
Dedek juga menjawab kebingungan publik terkait perbedaan angka kemiskinan versi Bank Dunia yang menyebut jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 194 juta orang. Sementara BPS hanya mencatat 23,85 juta orang per Maret 2025.
Menurutnya, perbedaan itu muncul karena perbedaan metode pengukuran yang digunakan masing-masing lembaga. Bank Dunia menghitung garis kemiskinan berdasarkan purchasing power parity (PPP) untuk keperluan pemeringkatan antarnegara, dan bukan untuk menggambarkan kondisi riil di dalam suatu negara.
Dedek menuturkan, tingkat kemiskinan oleh BPS diperoleh dari pendekatan yang memperhitungkan pola konsumsi lokal, variasi harga regional, dan realitas sosial-ekonomi. Aspek-aspek tersebut dianggap lebih merefleksikan kondisi perekonomian nasional dan bisa mewakili kebutuhan spesifik masyarakat Indonesia.
“Bank Dunia menggunakan data global untuk membandingkan negara-negara berpenghasilan menengah atas seperti Indonesia, Malaysia, Brazil, dan China. Sedangkan BPS menggunakan harga kebutuhan pokok di Indonesia untuk menentukan garis kemiskinan nasional,” tuturnya.
Dedek menambahkan, meskipun angka dari Bank Dunia bermanfaat untuk studi perbandingan antarnegara, data BPS lebih akurat untuk menangkap profil dan kondisi kemiskinan di dalam negeri.
Ia pun menyebut langkah konkret pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan melalui investasi di sektor pendidikan, kesehatan, dan nutrisi. Salah satu bentuk nyata dari komitmen tersebut adalah pelaksanaan program prioritas Makan Bergizi Gratis (MBG), yang ditujukan untuk memastikan anak-anak mendapatkan asupan gizi yang memadai sejak dini.
Ia juga mengutip pernyataan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi yang menegaskan, pemerintah kini mengadopsi pendekatan yang lebih komprehensif dalam memetakan kemiskinan, yakni melalui penggunaan Indeks Deprivasi Multidimensi (MDI). Indeks ini dikembangkan bersama oleh Kementerian Keuangan, UNICEF, dan Universitas Indonesia (UI) sebagai dasar dalam merumuskan kebijakan pengentasan kemiskinan.
Sejalan dengan pendekatan tersebut, Kementerian Keuangan dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2026 juga menekankan, kemiskinan tidak semata-mata diukur dari aspek pendapatan. Faktor lain seperti akses terhadap air bersih, kecukupan gizi, layanan pendidikan, serta kondisi hunian yang layak, turut menjadi indikator penting dalam menilai kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.
Standar Lama
Sekadar mengingatkan, Badan Pusat Statistik (BPS) menjelaskan alasan belum mengadopsi garis kemiskinan Bank Dunia terbaru yang menggunakan PPP 2021 dalam penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin ekstrem Indonesia pada Maret 2025.
Sebagai informasi, Bank Dunia belum lama ini memperbarui garis kemiskinan internasional yang menjadi standar tingkat kemiskinan ekstrem, dari US$2,15 (PPP 2017) menjadi US$3 per kapita per hari.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono, di Jakarta, Jumat, menjelaskan, dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 masih menggunakan standar US$2,15 (PPP 2017).
Meski begitu, Ateng memastikan, BPS telah menyesuaikan metodologi penghitungan dengan penyempurnaan dari Bank Dunia, termasuk penggunaan spatial deflator.
“Kami menyesuaikan metodenya, tapi PPP-nya kami masih tetap (PPP 2017), karena ini terkait dengan RPJMN 2025-2029, agar berkesinambungan untuk mengevaluasinya. Sementara World Bank kan baru rilis pada Juni yang lalu,” jelas Ateng.
Sampai saat ini, Indonesia, lanjutnya, memang belum secara resmi mengadopsi PPP 2021 sebagai acuan tingkat kemiskinan ekstrem nasional. Namun, BPS akan terus mengikuti perkembangan metodologi global, khususnya terkait pengukuran kemiskinan ekstrem.
“Kami masih menggunakan US$2,15 (PPP 2017) agar memperbandingkan dengan periode atau tahun-tahun sebelumnya,” kata Ateng.
Pada Maret 2025, persentase penduduk miskin ekstrem yang mengacu pada garis kemiskinan ekstrem Bank Dunia 2,15 dolar AS (PPP 2017) per kapita per hari, tercatat sebesar 0,85% atau 2,38 juta orang.
Persentase penduduk miskin ekstrem Maret 2025 menurun jika dibandingkan September 2024 yang sebesar 0,99% atau 2,78 juta orang dan Maret 2024 yang sebesar 1,26% atau 3,56 juta orang.
BPS menjelaskan, angka kemiskinan ekstrem Maret 2024 yang sebelumnya dirilis sebesar 0,83% menggunakan garis kemiskinan lama, yaitu US$1,9 (PPP 2011).
Setelah disesuaikan dengan menggunakan PPP 2017, tingkat kemiskinan ekstrem Maret 2024 mencapai 1,26%. Dengan demikian, data Maret 2025 menunjukkan penurunan kemiskinan ekstrem dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Adapun rilis mengenai data kemiskinan ekstrem ini sejalan dengan implementasi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.
Sebagaimana tertuang dalam Inpres tersebut, BPS ditugaskan untuk menyelenggarakan survei serta menghitung capaian pengentasan kemiskinan dan kemiskinan ekstrem.
Sumber data utama yang digunakan untuk menghitung tingkat kemiskinan Maret 2025, termasuk kemiskinan ekstrem, yakni data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenans) Konsumsi dan Pengeluaran Maret 2025.
Pendataan Susenans Maret 2025 dilakukan pada Februari 2025. Hal ini dikarenakan pada Maret 2025 bertepatan dengan Ramadhan, yang dapat mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga. Jumlah sampel Susenas Maret 2025 sebanyak 345 ribu rumah tangga yang tersebar di 38 provinsi 514 kabupaten/kota di Indonesia.
Tinggalkan Komentar
Komentar