periskop.id - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap adanya dana senilai Rp428,61 miliar yang mengendap di lebih dari 140 ribu rekening bank yang telah pasif selama lebih dari satu dekade. 

“PPATK menemukan, banyak rekening tidak aktif (bahkan terdapat lebih dari 140 ribu rekening dormant hingga lebih dari 10 tahun, dengan nilai Rp428,61 miliar tanpa ada pembaruan data nasabah,” ungkap Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dalam rilis resmi, Jakarta, Rabu (30/7).

Berdasarkan temuan tersebut, PPATK telah mengeksekusi penghentian transaksi sementara terhadap rekening-rekening dormant tersebut sejak 15 Mei 2025.

Langkah ini diambil karena rekening yang lama tidak aktif dan tidak mengalami pembaruan data nasabah dinilai sangat rentan.

Ivan menjelaskan bahwa dana di rekening tersebut menjadi sasaran empuk pelaku kejahatan dari dalam maupun luar bank.

"Dana pada rekening dormant diambil secara melawan hukum baik oleh internal bank maupun pihak lain," ujarnya.

Kondisi tersebut, menurut PPATK, pada akhirnya menciptakan ancaman serius bagi sistem keuangan secara keseluruhan.

Pihaknya menegaskan bahwa pembiaran terhadap rekening-rekening ini dapat berdampak luas pada perekonomian. 

"Ini membuka celah besar untuk praktik pencucian uang dan kejahatan lainnya, yang akan merugikan kepentingan masyarakat," tegasnya.

Oleh karena itu, tindakan penghentian transaksi ini bertujuan mendorong verifikasi dan pengkinian data.

Hal ini untuk memastikan rekening terlindungi dari potensi penyalahgunaan serta dana di dalamnya tetap aman dan utuh bagi pemilik yang sah.

Berdasarkan kerangka peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rekening dormant secara umum didefinisikan sebagai rekening simpanan yang tidak memiliki aktivitas transaksi dari nasabah dalam jangka waktu tertentu. 

Periode spesifik ini, umumnya antara 6 hingga 12 bulan ditetapkan dalam kebijakan internal masing-masing bank. 

Praktik ini sejalan dengan prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ) atau know your customer (KYC) yang diwajibkan oleh regulator untuk memitigasi risiko, termasuk pencucian uang, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010.