periskop.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan manajemen PT Garuda Indonesia (Persero) agar lebih waspada dalam proses pengadaan pesawat baru. Lembaga antirasuah menekankan pentingnya pencegahan sejak dini agar kasus hukum serupa di masa lalu tidak kembali terjadi.

Ketua KPK Setyo Budiyanto menegaskan, pengadaan dengan nilai besar harus dilakukan secara terbuka dan akuntabel. 

“Kita harus memastikan tidak mengulang kesalahan. Pengadaan sebesar ini harus transparan, akuntabel, dan bebas konflik kepentingan,” ujarnya dikutip dari Antara, Kamis (2/10).

Wakil Ketua KPK Ibnu Basuki Widodo menambahkan, konflik kepentingan menjadi ancaman serius yang bisa melemahkan independensi pengambil keputusan. Ia menekankan perlunya integritas penuh dalam setiap tahapan pengadaan pesawat baru Garuda.

Sementara itu, Wakil Ketua KPK lainnya, Agus Joko Pramono, menyebut pihaknya akan melakukan pengawasan berlapis. 

“Risiko pengadaan bernilai besar bisa berupa permainan harga, manipulasi spesifikasi, konflik kepentingan, hingga potensi gratifikasi,” jelasnya.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Utama Garuda Indonesia Wamildan Tsani Panjaitan menegaskan komitmen perusahaan untuk menjalankan proses sesuai aturan. 

“Kami pastikan setiap rupiah dalam pengadaan ini dikelola secara bertanggung jawab,” katanya.

Wamildan menambahkan, komunikasi intensif dengan KPK dilakukan untuk memperkuat komitmen tersebut sekaligus memperoleh rekomendasi mitigasi risiko. Dengan begitu, transaksi yang dilakukan diharapkan tidak menimbulkan masalah hukum di kemudian hari.

Saat ini, Garuda Indonesia tengah bernegosiasi dengan Boeing terkait rencana pembelian pesawat. Nilai transaksi yang dibicarakan mencapai US$8,03 miliar dolar AS dengan beberapa opsi pembelian yang sedang dipertimbangkan.

Sebelumnya Garuda Indonesia pernah tersandung kasus pengadaan pesawat yang sarat manipulasi harga. Direktur Utama Garuda Indonesia saat itu Emirsyah Satar menyalahgunakan pengadaan pesawat Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600 dengan perkiraan kerugian negara hingga Rp9,3 triliun.