periskop.id - Isu nikah beda agama kembali mengguncang ruang publik setelah gugatan ke MK atas Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Banyak yang mempertanyakan apakah kepastian hukum bagi pasangan lintas iman dapat diberikan oleh negara tanpa harus disertai pengorbanan terhadap kebebasan beragama. Nah, di luar negeri sudah ada negara-negara dengan model hukum sipil yang netral, yaitu pernikahan diakui tanpa syarat konversi.
Berikut tujuh negara yang memperbolehkan pernikahan beda agama.
1. Kanada
Kalau bicara soal negara yang paling santai menghadapi pernikahan beda agama, Kanada layak berada di urutan teratas. Negara ini punya prinsip sederhana, urusan keyakinan adalah ranah pribadi, sementara negara hanya bertugas memastikan proses pernikahan berjalan secara administratif dan legal.
Melalui Civil Marriage Act, Kanada menegaskan bahwa pernikahan sipil sah tanpa mempersoalkan agama pasangan.
Artinya, siapa pun yang ingin menikah, meskipun berbeda keyakinan, tetap bisa diproses tanpa harus repot mengurus syarat-syarat keagamaan tertentu. Bahkan, pemuka agama pun diberi kebebasan, mereka boleh menolak atau menerima pasangan beda agama sesuai ajaran masing-masing. Negara tidak ikut campur.
2. Belanda
Negeri kincir angin ini punya prinsip tegas tentang pernikahan, negara hanya mengakui pernikahan sipil, sementara urusan upacara agama sepenuhnya menjadi pilihan pribadi pasangan.
Artinya, siapa pun boleh menikah dengan pasangan dari keyakinan apa pun tanpa harus mengikuti aturan agama tertentu. Selama kedua belah pihak memenuhi syarat administratif, pernikahan sipil di kantor catatan sipil Belanda langsung sah secara hukum. Setelah itu, pasangan bisa mengadakan pemberkatan atau ritual agama, tetapi negara tidak mewajibkan atau menilainya sebagai syarat legal.
3. Inggris
Di Inggris, pasangan beda agama sama sekali tidak menemukan hambatan hukum. Alasannya sederhana, pernikahan sipil menjadi jalur utama yang diakui negara, sementara urusan keyakinan diserahkan penuh kepada masing-masing pasangan.
Setiap orang bebas menikah dengan siapa pun tanpa memandang perbedaan keyakinan. Selama dokumen administratif terpenuhi, proses pernikahan tetap berjalan seperti biasa. Setelah pernikahan sipil selesai, pasangan juga bebas mengadakan upacara keagamaan sesuai tradisi masing-masing, negara tidak mengatur atau mewajibkannya sebagai syarat sah.
4. Singapura
Singapura terkenal sebagai negara yang rapi, teratur, dan punya aturan super jelas dalam urusan administrasi. Tapi soal pernikahan beda agama, Negeri Merlion justru cukup fleksibel. Kuncinya ada pada Women’s Charter, aturan yang mengatur pernikahan sipil bagi warga nonmuslim.
Melalui skema ini, pasangan lintas iman bisa menikah tanpa harus mengikuti syarat keagamaan tertentu, semua berlangsung melalui jalur sipil yang rapi dan terstruktur, sesuai ciri khas Singapura.
Di sisi lain, bagi warga Muslim, mekanismenya berada di bawah Administration of Muslim Law Act (AMLA). Namun dalam konteks pernikahan lintas agama, jalur civil marriage menjadi pintu utama untuk pasangan beda keyakinan. Negara memastikan bahwa perbedaan agama tidak menjadi penghalang, selama dokumen dan persyaratan administratif terpenuhi.
5. Tunisia
Tunisia sering disebut sebagai salah satu negara muslim yang paling progresif dalam urusan hukum keluarga. Negara di Afrika Utara ini membuat gebrakan besar ketika memutuskan untuk menghapus larangan pernikahan beda agama bagi perempuan muslim, sebuah aturan yang sebelumnya mengharuskan calon suami nonmuslim untuk masuk Islam terlebih dahulu.
Keputusan tersebut menandai langkah maju dalam reformasi hukum keluarga Tunisia yang sejak lama memang dikenal lebih terbuka dibandingkan banyak negara muslim lain.
Reformasi ini tidak terjadi begitu saja. Berbagai organisasi HAM di Tunisia telah lama mendorong pemerintah untuk meninjau ulang aturan pernikahan lintas agama, menilai bahwa pembatasan tersebut bertentangan dengan prinsip kesetaraan gender dan kebebasan memilih pasangan hidup. Hasilnya, pemerintah akhirnya melonggarkan aturan dan memberi ruang bagi warga untuk menentukan pilihan tanpa intervensi agama sebagai syarat legalitas.
6. Prancis
Di Prancis, untuk menikah secara sah menurut negara, harus melewati pernikahan sipil dahulu. Dalam hukum Prancis, hanya pernikahan sipil yang diakui secara legal, sedangkan upacara agama bisa dilakukan setelahnya, tetapi tidak punya kekuatan hukum kalau tidak diawali oleh pernikahan sipil.
Ini berarti, bagi pasangan beda agama, agama tidak menjadi penghalang legal utama untuk menikah di Prancis, asalkan administrasi sipilnya beres di balai kota “la mairie”
7. Australia
Ketika urusan administrasi di dalam negeri terasa rumit, banyak pasangan beda agama justru menemukan “jalan terang” di Australia. Negeri Kanguru ini dikenal longgar dalam urusan pencatatan sipil, sehingga pasangan lintas keyakinan bisa menikah tanpa harus memenuhi syarat konversi atau penyesuaian agama tertentu.
Sistem disana sederhana, cukup memenuhi persyaratan administratif, memilih celebrant (semacam penghulu sipil), dan pernikahan pun bisa dicatat secara legal oleh negara. Tidak heran kalau banyak WNI memilih Australia sebagai tempat mengikat janji, entah karena alasan hukum, kenyamanan proses, atau sekalian menyatukan momen penting dengan liburan romantis.
Tujuh negara di atas membuktikan satu hal penting, bahwa negara tidak harus memilih antara hukum dan agama. Dengan menyediakan jalur sipil yang netral, mereka menjamin akses pernikahan tanpa memaksa seseorang melepas keyakinan mereka.
Dalam konteks gugatan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan di MK, model-model ini bisa menjadi blueprint untuk merancang sistem yang lebih inklusif di Indonesia.
Tinggalkan Komentar
Komentar