periskop.id - Pernah terpikir siapa sebenarnya yang lebih sering selingkuh? Pria atau wanita? Topik ini sering muncul dalam percakapan sehari-hari, tapi jarang dibahas menggunakan data yang benar-benar kredibel.
Faktanya, sejumlah penelitian terbaru justru mengungkap pola yang jauh berbeda dari stereotip yang selama ini kita percaya. Dari pergeseran perilaku berdasarkan usia, tekanan hidup modern, hingga pengaruh karier dan lingkungan sosial, perselingkuhan ternyata memiliki dinamika yang jauh lebih kompleks daripada sekadar “siapa yang salah”.
Siapa Sebenarnya yang Lebih Banyak Selingkuh?
Banyak orang meyakini bahwa pria adalah pihak yang paling sering selingkuh. Data memang menunjukkan kecenderungan tersebut, tetapi kenyataannya tidak sesederhana itu.
Berdasarkan General Social Survey yang diolah oleh Institute for Family Studies, sekitar 20% pria dan 13% wanita mengaku pernah berselingkuh saat menikah. Namun, ada temuan menarik di balik angka itu. Wanita yang sudah menikah di usia 18 hingga 29 tahun, justru lebih banyak mengakui perselingkuhan dibandingkan pria.
Di luar faktor usia dan gender, ada beberapa elemen lain yang turut memengaruhi risiko seseorang berselingkuh. Mereka yang jarang mengikuti kegiatan keagamaan cenderung memiliki tingkat perselingkuhan lebih tinggi.
Orang dewasa yang tumbuh tanpa kehadiran kedua orang tua juga menunjukkan pola yang serupa. Selain itu, kelompok dengan riwayat perselingkuhan lebih sering ditemukan dalam hubungan yang akhirnya berujung pada perceraian atau perpisahan.
Melihat seluruh pola ini, terlihat jelas bahwa perselingkuhan tidak bisa dijelaskan hanya dengan perbedaan jenis kelamin. Ada pengaruh lingkungan, pengalaman masa kecil, hingga kondisi sosial yang ikut membentuk bagaimana seseorang bersikap dalam hubungan.
Bukan Pendidikan, tapi Kesempatan yang Tentukan Setia atau Tidak
Pendidikan sering dianggap sebagai faktor yang menentukan apakah seseorang lebih setia atau tidak. Namun, data justru menunjukkan gambaran yang berbeda. Analisis Institute for Family Studies (IFS) melalui General Social Survey menemukan bahwa tingkat perselingkuhan antara mereka yang lulus perguruan tinggi dan yang tidak, ternyata hampir sama. Artinya, pendidikan tinggi bukan jaminan seseorang akan terbebas dari risiko selingkuh.
Menariknya, faktor pekerjaan justru memperlihatkan pola yang lebih jelas. IFS mengungkap bahwa pria dengan pekerjaan bergengsi memiliki kecenderungan lebih besar untuk berselingkuh.
Posisi dengan jabatan tinggi, jaringan sosial yang luas, serta akses terhadap lebih banyak kesempatan diduga menjadi pemicu utamanya. Laporan tersebut menunjukkan bahwa kelompok pria dengan karier prestisius memiliki angka perselingkuhan yang lebih tinggi dibanding mereka yang bekerja pada posisi biasa.
Selain pekerjaan, tingkat keterlibatan agama juga berpengaruh signifikan. IFS mencatat bahwa individu yang jarang atau tidak pernah menghadiri kegiatan keagamaan memiliki angka perselingkuhan hampir dua kali lipat lebih tinggi dibanding mereka yang rutin beribadah.
Dalam salah satu analisisnya, hanya sekitar 8% dari mereka yang aktif mengikuti kegiatan keagamaan mengaku pernah selingkuh, sementara angkanya naik menjadi sekitar 18% pada kelompok yang tidak pernah hadir.
Dari seluruh temuan tersebut, terlihat bahwa pendidikan memang bukan penentu utama, tetapi kombinasi antara kondisi pekerjaan, lingkungan sosial, serta nilai dan norma yang dijaga seseorang dapat memengaruhi seberapa besar risiko mereka terlibat dalam perselingkuhan.
Faktor Psikologis yang Mendorong Seseorang Selingkuh
Selain faktor sosial dan pekerjaan, ada sisi emosional yang perlu dibahas, terutama pada generasi milenial. Journal of Sex Research menemukan bahwa banyak milenial menghadapi tekanan hidup yang besar, mulai dari ketidakpastian karier hingga kebingungan identitas diri. Kondisi mental yang penuh tekanan ini kadang mendorong mereka mencari pelarian atau validasi emosional dari luar hubungan.
Masih dalam studi yang sama, ditemukan juga bahwa alasan-alasan umum seseorang berselingkuh dapat berupa perasaan yang sering diabaikan oleh pasangan, ingin meningkatkan harga diri, mencari variasi dalam hubungan, hingga merasa kurang dicintai.
Dari sini terlihat bahwa perselingkuhan tidak selalu tentang kesempatan atau dorongan sesaat. Banyak orang berselingkuh karena kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi. Mereka ingin merasa dihargai, dilihat, atau dicintai kembali.
Tinggalkan Komentar
Komentar