Periskop.id - Menteri Perdagangan (Mendag) menegaskan, seluruh biaya pemusnahan pakaian bekas asal impor tidak menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Biaya pemusnahan, jelasnya, dibebankan pada importir yang bertanggung jawab.

Ia menyebut, beban biaya yang ditanggung importir merupakan sanksi, lantaran telah melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang perdagangan dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 40 Tahun 20242 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Dilarang Impor.

"Yang dimusnahkan itu tidak pakai APBN. Jadi yang memusnahkan itu adalah importir. Jadi kita kenakan sanksi," ungkap Budi di Jakarta, Jumat (21/11)

Adapun sanksi yang ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) adalah menutup perusahaan distributor dan memusnahkan barang impor tersebut. Budi mengatakan, setiap importir yang kedapatan melanggar aturan harus menanggung sendiri seluruh konsekuensi hukum dan administratif, termasuk biaya pemusnahan barang.

"Dia yang harus memusnahkan. Nanti semua biaya dari importir," katanya.

Pemerintah sendri, sejauh ini telah menutup dua perusahaan yang terindikasi mengimpor pakaian bekas. Kedua perusahaan itu juga diwajibkan membiayai proses pemusnahan barang temuan hingga tuntas sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Untuk diketahui, belum lama ini, Kementerian Perdagangan (Kemendag) memusnahkan 500 balpres dari total 19.391 balpres pakaian bekas impor atau thrifting. Barang-barang tersebut disita oleh Kemendag, Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia (BAIS TNI), Badan Intelijen Negara (BIN) dan juga Polri .

Menurut dia, balpres-balpres pakaian bekas impor tersebut ditemukan di 11 gudang dan dimiliki oleh delapan pemilik atau distributor.

"Terhadap barang-barang tersebut dan juga kepada pelaku usahanya kita berikan sanksi yang pertama adalah penutupan kegiatan usaha. Jadi lokasi usaha terhadap pengimpor atau distributor kita tutup," katanya.

Kementerian Perdagangan pun memerintahkan kepada importir atau distributor untuk melakukan pemusnahan barang atau pakaian bekas impor tersebut.

"Kami melakukan pemusnahan barang sebanyak 500 balpres dan biaya pemusnahan dilakukan oleh perusahaan impor atau distributor," kata Budi Santoso.

Tutup Izin Usaha

Proses pemusnahan terhadap 19.391 balpres pakaian bekas impor tersebut, lanjutnya, sudah dilakukan sejak tanggal 14 Oktober 2025 dan total yang sudah dimusnahkan sebanyak 16.591 balpres atau kurang lebih 85,56 persen.

"Diharapkan pemusnahan ini akan selesai pada akhir November, jadi pada bulan ini akan selesai," kata Budi.

Sebagai informasi, Pemerintah menegaskan bahwa praktik thrifting atau penjualan pakaian bekas impor secara aturan tidak diperbolehkan, dan masyarakat diminta untuk tidak lagi membeli produk tersebut.

Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian Reni Yanita mengatakan, aktivitas thrifting masih marak terjadi di berbagai platform dan pasar karena tingginya permintaan dari masyarakat.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah oleh Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Perdagangan menunjukkan, nilai impor untuk kategori barang tekstil jadi, pakaian bekas, dan gombal pada periode Januari hingga Juli 2025 mencapai US$78,19 juta.

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa memilih untuk mencacah ulang pakaian dan tas bekas (balpres) impor ilegal dan menjual sebagiannya ke pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Dalam taklimat media, di Kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Jumat (14/11), Purbaya mengatakan cara pemusnahan baju impor ilegal selama ini tidak memberikan keuntungan bagi negara, justru membuat pemerintah mengeluarkan biaya. Menurut Purbaya, untuk satu kontainer yang membawa balpres ilegal untuk dimusnahkan, biaya yang dikeluarkan oleh pihaknya mencapai Rp12 juta.

"Rugi. Habis itu masih beri makan orang yang ditahan. Rugi besar kita. Jadi, mau kami ubah," kata Purbaya.